Ijinkan saya untuk bertanya. Apakah teman-teman punya kartu kredit? Saya yakin jawabannya iya. Trus punya berapa? 1, 2, 3, atau lebih?
Di zaman ini kartu kredit bukan barang langka lagi. Di mana-mana kita bisa menemukan iklan-iklan yang menawarkannya dengan berbagai fasilitas dan keunggulannya masing-masing. Di mal-mal dengan mudah kita ketemu tim sales dengan seragam mentereng dan agresif menawarkan ke pengunjung produk mereka dengan embel-embel: pak, mudah kok prosesnya, cuma perlu KTP aja, he he ... Tak ketinggalan, entah dari mana ada telp yang tiba-tiba mencari kita, trus menawarkan kartu kredit :)
Bagi sebagian orang, salah satu simbol kesuksesan dan kebanggaan adalah memiliki sebanyak mungkin kartu kredit. Jadi jangan heran kalau dengan mudah kita melihat orang berlomba-lomba memamerkan koleksinya. Makan di restoran: kartu kredit ini keluar. Belanja di supermarket: gesek yang itu. Beli peralatan eletronik: yang lain didayagunakan. Sampai di kalangan mereka ada pameo seperti bunyi sebuah iklan: "hari gini ... tidak punya kartu kredit?"
Namun percaya atau tidak, sindiran tersebut mengena di diri saya, he he. Sampai detik ini saya belum dan tidak pernah punya selembar kartu kredit pun. Ndak tahu kenapa yah, nggak pengen aja. Pikiran saya yang kolot dan ortodox selalu menganggap kalau saya memberanikan diri melangkah untuk memilikinya, itu sama saja menceburkan diri ke sebuah dunia yang selalu dihindari, yaitu dunia utang. Bagi saya lebih aman kalau aku pegang ATM saja. Selain karena sekarang di tempat-tempat belanja sudah menyediakan fasilitas debit, juga dengan ATM saya bisa mengerem diri dari sembarang gesek, yang ujungnya menghindari diri untuk terjerat dalam lingkaran yang istilahnya lingkaran setan he he he ...
Pengalaman teman-teman saya yang pernah terjerat di sana semakin menguatkan argumentasi. Sebut saja A, pernah mempunyai hampir 6 kartu kredit. Sebelum krisis melanda Indonesia, dia memanfaatkan kartunya untuk mengambil barang-barang elektronik, kemudian dijual lagi ke koleganya. Awalnya sih lancar, dalam artian masih untung. Namun memasuki krisis, distribusinya terjun bebas. Akibatnya bisa ditebak, kredit macet he he.
Alhasil mulai berdatanganlah yang namanya debt collector, dari semula menagih dengan lembut berubah menjadi teror mencekam. Mendengar dia menuturkan pengalamannya membuat bulu kuduk merinding. Bagaimana setiap dia mendengar bunyi telp, jantungnya langsung berdetak kencang. Ketika diangkat, dampratan dengan koleksi kata-kata kebun binatang sampai ancaman harus dia terima. Hidupnya jadi kacau, berantakan, dan hidup dalam ketidakpastian.
Beruntung dia mempunyai saudara, yang menurut istilahnya menjadi juru selamatnya. Tunggakan-tunggakannya ditebus, kartu-kartunya dihancurin, dan diapun kembali ke jalan yang benar he he he ...
Pengalaman teman lain juga sama. Karena kurang cermat dan perhitungan gesek, terjerat juga dalam dunia utang. Dan, lagi-lagi datang sang penyelamat hingga membuatnya insyaf dan lebih berhati-hati lagi dalam menggunakannya.
Terlalu berat sebelah jika saya hanya melihat dari sisi negatif dari kartu kredit. Bagi sebagian orang justru kehadiran kartu kredit sangat membantu mereka. Misalnya temanku yang istrinya mau melahirkan. Awalnya dia berpikir akan lahir normal, jadi dana yang dia siapkan hanya sebatas itu. Namun ceritanya beda karena harus caesar. Alhasil, diapun menggunakan gesekan mautnya untuk menebus istri dan anaknya ha ha ha ...
Jadi intinya adalah sebuah pilihan. Kita memilikinya hanya untuk alasan gengsi, ataukah kita benar-benar membutuhkannya. Ibarat Madu atau Racun , tergantung anda menggunakannya.
* * *
"Hen ... udah apply belum rekomendasiku?"
"Belum. Tidak berminat ..."
"Gaul dong ... masa kartu kredit aja ndak punya. Kayak aku lho ..." kata temanku sambil mengeluarkan dompet.
Aku melirik, dan satu persatu kartunya dikeluarkan. Oh God ... 7 keping. Hhhh ... aku hanya bisa geleng-geleng kepala ...
No comments:
Post a Comment