Seorang Chief Operating Officer sebuah perusahaan ternama dunia hari itu datang kekantornya yang megah tepat jam 7 pagi. Sang pemilik perusahaan memasuki ruang kerjanya tak lama kemudian. Setelah berbasa-basi sedikit, beliau berujar;
"My friend," katanya. "Aku bangga dengan hasil kerjamu selama ini," lanjutnya. Sang CEO tentu saja bahagia mendengar pujian bossnya itu.
"Namun," lanjut si boss. Kali ini, hati CEO itu mulai dihinggapi tanda tanya besar.
"Para stakeholders kita menginginkan untuk menggantikanmu dengan seseorang yang lebih baik....."
Saat itu juga, pagi yang cerah seakan-akan berubah menjadi gelap gulita sambil sesekali dikilati cahaya dari bunyi petir dan gelegar halilintar yang membuat jiwa bergetar.
Sang CEO hanya bisa terpana. Seolah tidak percaya pada apa yang baru saja didengarnya. Seandainya, Boleh jadi anda mengira bahwa percakapan diatas itu sekedar rekaan belaka. Tapi, jika anda mengikuti perkembangan dunia bisnis internasional akhir-akhir ini; anda akan menemukan bahwa pembicaraan semacam itu sungguh-sungguh terjadi didunia nyata.
'Korbannya'? Banyak. Mulai dari orang nomor satu di bank terkemuka. Pemimpin perusahaan farmasi tercanggih. Hingga raksasa minuman berbahan dasar kopi yang aroma ketenarannya sampai kesini. Bahasa politik boleh mengatakannya dengan halus, semisal; pensiun dini atau golden shake hand.
Tetapi, dalam bahasa kita; itu tidak beda dengan tiga huruf mengerikan bernama P. Dan H. Dan K. Sounds familiar, right? Yes, that PHK.ta itu tidak ditujukan kepada CEO yang sedang kita bicarakan itu. Melainkan kepada anda.
What are you going to do?
Anda tentu masih ingat kisah tragis legendaris yang menimpa kapal pesiar Titanic yang tenggelam pada tanggal 14 April 1912. Peristiwa itu diperkirakan menelan 1,500 korban jiwa.
Para ahli mempercayai bahwa faktor utama yang menyebabkan banyaknya jumlah korban jiwa bukanlah semata-mata tenggelamnya kapal tersebut, melainkan; kurangnya jumlah sekoci yang ada dikapal itu dibandingkan dengan jumlah penumpang yang ada. Mereka begitu yakin bahwa Titanic tidak bisa tenggelam. Jadi, mengapa harus menyediakan sekoci?
Konon, ketika perisiwa itu terjadi; sesungguhnya masih banyak waktu untuk melakukan penyelamatan. Namun, karena jumlah sekoci penyelamat hanya sedikit, hanya sebagian kecil saja yang bisa diselamatkan.
Dalam kehidupan kerja pun kita sering berpikir seperti itu. Kita begitu yakin bahwa kapal yang kita gunakan untuk mengarungi samudera dunia kerja ini tidak akan tenggelam. Sehingga kita tidak merasa penting untuk memiliki sekoci.
Tetapi, berapa banyak sudah perusahaan yang gulung tikar dan kemudian tenggelam seperti halnya Titanic? Jika kita boleh berkata tanpa sensor, sesungguhnya dunia kerja kita lebih beresiko daripada Titanic. Apa yang terjadi pada Titanic adalah musibah bagi semua penumpang. Semua orang menghadapi masalah yang sama. Sebab; orang baik tidak ditendang keluar dari kapal.
Tetapi, dalam sebuah perusahaan; sudah sering terjadi seorang karyawan ditendang keluar dari bahtera perusahaan semudah itu. Seperti peristiwa yang menimpa sang CEO diatas itu.
Jika itu bisa terjadi kepada pimpinan puncak sebuah perusahaan; maka tidak heran jika bisa dengan sangat gampangnya menimpa karyawan-karyawan dilevel lainnya. Ya. Tentu saja. Anda sudah tahu itu. Bahkan mungkin sudah banyak teman anda yang terkena PHK juga. Sayangnya, saat ini pun kita masih begitu yakinnya untuk mengatakan bahwa kita tidak akan mengalami nasib seperti itu.
Seseorang menganggap saya ini terlampau pesimis dalam memandang masa depan pekerjaan. Saya bilang;"Ada bedanya antara sikap pesimis dengan sikap antisipatif.
Seseorang yang pesimis, memandang dari sisi negatif, dan dia tidak melakukan apa-apa untuk mempersiapkan dirinya, kecuali memelihara perasaan was-was. Sedangkan, orang yang antisipatif, memandang sebuah resiko secara rasional dan proporsional. Lalu dia mempersiapkan diri untuk menghadapi situasi sulit jika terjadi sewaktu-waktu. "
PHK adalah resiko kita sehari-hari. Kita tidak perlu terlampau percaya diri dengan mengatakan bahwa hal itu tidak akan pernah terjadi pada kita. Atau sebaliknya terlalu takut jika mengalaminya. Sebab, selama kita 'mempersiapkan diri kita untuk menghadapi kemungkinan itu,' maka yakinlah bahwa masa depan kita akan baik-baik saja.
Paling tidak, kita tidak terlampau syok, jika itu benar-benar terjadi. Dan yang lebih penting dari itu adalah; memulai mempersiapkan 'sekoci' itu dari saat ini. Sekoci yang selalu siap digunakan jika sewaktu-waktu kita membutuhkannya.
Begitu beragamnya reaksi orang ketika terjadi PHK.
Ada yang panik.
Ada yang biasa-biasa saja.
Ada pula yang senang alang kepalang.
Ada orang yang mendapatkan 'golden shake hand' tetapi hatinya miris dan menghadapi dunia didepannya dengan tatapan pesimis.
Ada yang mendapatkan uang pesangon sekedar sesuai dengan peraturan yang tertuang dalam undang-undang; namun, memandang masa depannya dengan antusias dan optimis.
Mengapa sikap mereka bisa beda begitu ya? Ternyata, orang-orang yang sudah 'mempersiapkan' dirinya untuk situasi sulit seperti itu lebih bisa menghadapi kenyataan itu. Mereka melihat sisi terangnya. Dan mereka menemukan bahwa; itu bukanlah akhir dari segala-galanya.
Beberapa waktu lalu saya mendapatkan email dari seorang teman yang mengalami 'perlakuan' kurang patut diperusahaan. Menyimak kompleksnya permasalahan yang dihadapinya, tidaklah mudah untuk meresponnya.
Tetapi, tepat sehari sebelum saya menerima email itu, saya bertemu dengan seorang sahabat lama. Bagi saya, beliau bukan sekedar sahabat; melainkan juga seorang mentor. Puncak karir beliau adalah Direktur Pengembangan Bisnis pada sebuah perusahaan multinasional dengan pengalaman kerja 20 tahun.
Dia bangga dengan pencapaiannya. Dan dia tahu kualitas dirinya yang tinggi. Namun, suatu ketika perusahaan memintanya untuk menduduki sebuah jabatan lain. Jabatan itu levelnya bukan Direktur, melainkan manager biasa. Jelas, orang ini diturunkan pangkatnya.
Dan yang lebih menarik lagi adalah: posisi baru yang harus dipegangnya adalah sebuah posisi yang sebelumnya berada langsung dibawah kepemimpinannya. Sedangkan posisi direktur kini diduduki oleh orang lain.
Itu terjadi tahun 2002. Dan orang itu - dengan segala kualitas diri yang dimilikinya - ketika bertemu dengan saya kemarin; menjadi orang yang lebih berhasil dari sebelumnya. Ini menunjukkan bahwa emas tetaplah emas, meskipun terbenam dalam tanah berlumpur.
Saya sendiri mempunyai prinsip pribadi yang berbunyi; 'bersiap-siap seolah akan terkena phk besok pagi.'
Dengan prinsip itu, sedari sekarang saya mulai mempersiapkan diri untuk menghadapinya. Saya belajar banyak hal hari ini, supaya besok bisa menjaga diri.
Jika besok pagi saya mendapatkan PHK itu, sekurang-kurangnya secara mental saya sudah menjadi lebih siap. Sehingga, bebannya mungkin akan menjadi lebih ringan. Apakah anda juga demikian?
Catatan Kaki:
Jika kita berani menaiki sebuah kapal pesiar, maka pasti itu karena kita yakin bahwa kapal itu akan sampai dengan selamat ketempat tujuan. Namun, pasti kita akan merindukan sebuah sekoci jika sesuatu yang tidak diharapkan terjadi.
Hore, Hari Baru!
Dadang Kadarusman