Tertangkapnya kembali terpidana mati Gunawan Santoso justru menguak kembali cerita sedih itu. Cerita tentang lolosnya pesakitan dari penjara setidaknya sampai tiga kali. Begitu mudah orang ini kabur. Dan untuk apa dia tertangkap jikalau nanti ia cuma akan lepas lagi. Biarlah ia terlepas untuk selamanya dan lebih baik dia terhapus dari ingaan kita katimbang setiap kali orang ini mencibir kewibawaan hukum kita.
Sudah tentu, ini adalah kata hati dari pihak yang nyaris putus asa demi melihat pelecehan hukum setelah sampai pada tingkat yang begitu menghina. Tak perlu lolos untuk kesekian kali mestinya. Karena seorang pesakitan yang kedapatan kabur dengan mudah itu saja, mestinya telah membuat seluruh perangkat hukum kita terhina. Kabar baiknya ialah, bahwa polisi yang masih giat memburu orang ini, dan seberapapun lama ia menghilang, polisi kita tak melupakannya, adalah sebuah usaha yang penting dihargai. Tetapi karena perangkat hukum itu begitu lengkap elemennya, satu saja dia tak baik bekerja, akan runtuh seluruh kekuatannya.
Maka dalam kasus pelarian semacam ini, tidak cuma si buron yang harus mendapat ganjaran hukum tambahan, tapi juga kepada seluruh mata rantainya. Kalau sebelum buron ia adalah terpidana mati, keputusannya untuk selalalu lari ini layak dipertimbangkan mendatangkan hukuman tambahan kalau perlu hukuman mati sekali lagi. Sudah tentu ide ini bukan gurauan. Ide ini adalah pendorong hukum agar hukum benar-benar juara di hadapan pihak yang gemar meremehkan. Tidak ada sebuah bangsapun akan menjadi modern dan beradap jika hukum masih mudah dipermainkan.
Kini buron itu tertangkap lagi. Ada indikasi wajahnya berubah lagi oleh sebuah operasi. Ini juga bukan soal sederhana karena implikasi hukumnya. Dokter itu, jika ia di Indonesia, harus ikut bertanggungjawab atas keputusanya. Ini sungguh untuk pelajaran bagi siapa saja yang dengan sengaja bersekongkol dengan kejahatan. Memutus kejahatan, sesungguhnya juga harus memutus mata rantainya. Sudah bukan rahasia, jika kekuatan jahat di Indonesia begitu kuat daya tahannya, karena ia memiliki banyak suporter. Ia menjalar ke mana-mana dengan uang sebagai porosnya. Lemah di hadapan uang itulah akhirnya penyakit kolektif kita tak terkecuali juga hukum di Indonesia.
Ingin rasanya kita mengubur ingatan atas Gunawan Santoso ini seperti cara kita melupakan Edy Tanzil. Biarlah ia lenyap begitu saja katimbang ia muncul cuma untuk mengingatkan kegagalan kita. Karena setiap kali kita mengingat orang-orang yang lepas dari jangkauan hukum, rasanya hanya makin mengerdilkan martabat kita sebagai bangsa.
Source : Team Pemberitaan Smart FM
No comments:
Post a Comment