Kepada siapa lagi rakyat kecil sekarang ini bisa mengeluh, walaupun mereka ngomong sampai berbuih sekalipun jangan harap ada yang mau mendengarkan suara mereka. Suara mereka terlalu kecil dan tidak berarti sehingga tidak akan pernah bisa mendapatkan perhatian. Sarana mereka satu-satunya ialah demo di depan kantor permerintah mis: di kantor PLN dan Gas Negara dengan risiko akan digebukin oleh aparat.
Mass media baru tertarik untuk memberitakannya, apabila pada saat demo tersebut terjadi huru-hara. Sudah bertahun-tahun lamanya kita mencanangkan Indonesia sebagai negara reformasi, tetapi kenyataannya budaya yang berlaku tetap saja budaya "Sungkem dan Bungkem" seperti ketika jaman VOC dulu.
Memang harus diakui bahwa di Indonesia sekarang ini sudah banyak sekali media, mulai dari media cetak sampai dengan media elektronik, Radio, TV maupun koran online, tetapi jawablah dengan jujur, apakah tulisan wong kecil disana bisa dijadikan sebuah berita yang spektakuler ?
Kalau bisa ditayangkan sebagai surat atau komentar pembaca saja
sudah bagus. Masalahnya berita yang ditayangkan di media utama
(mainstream) hanya ditulis oleh para wartawan profesional atau para tokoh politik. Disamping itu di media utama: Redaksi dan para
Editornya yang mendikte dan menentukan berita apa saja yang
sebaiknya diketahui atau tidak diketahui oleh kalangan publik.
Berita disana ditentukan oleh sang pemilik modal, politisi, pembisnis bahkan terkadang oleh penguasa. Di sana tidak ada tempat bagi orang-orang biasa ataupun untuk wong kecil.
Di koran mainstream manapun juga redaksi dan editor yang menentukan berita apa saja yang harus dimuat. Pemilihan berita pada umumnya bukan mencerminkan kepentingan publik, melainkan kepentingan bisnis, politik maupun pemodal, disamping itu juga karena adanya keterbatasan space.
Jurnalisme manstream (jurnalisme resmi) di mana-mana telah kehilangan landasan filosofis sehingga dengan mudah mereka mendiktekan apa saja yang sebaiknya diketahui atau tidak diketahui
oleh publik. Yang dicorongkan disana bukannya suara atau inspirasi murni dari rakyat melainkan suara hati dari sang pemilik modal. Hal-hal inilah yang mendorong lahirnya media persuasif yang merupakan sebagai media akar rumput, media alternatif atau yang lebih dikenal sebagai "Citizen Jurnalisme.
Media yang bisa menjadi corong suara orang biasa atau suaranya wong kecil. Semua berita yang ditayangkan berasal dari publik dan dibaca oleh publik. Jadi pembacalah yang akan memilih dan menentukan berita pilihannya bukan para redaksi.
Di koran online.com setiap warga bisa menjadi reporter dan penulis oleh sebab itulah reporter dari koran underground ini lebih dikenal dengan sebutan "Citizen Reporter" - pewarta warga. Mereka adalah orang biasa, mulai dari ibu rumah tangga, mahasiswa, buruh kecil sampai dengan dosen bisa jadi citizen reporter. Citizen jurnalism bisa disebut juga sebagai junarlisme advokasi, karena disini setiap penulis dapat memberitakan perjuangan mereka. Misalnya memberitakan tentang kinerja pejabat PLN & Gas Negara yang tidak becus, pencemaran lingkungan, mulai dari pembakaran hutan sampai dengan semburan lumpur panas lapindo. Dalam citizen jurnalism siapa pun dapat membuat, menyebarkan, bahkan menjadi narasumber sekaligus mengonsumsi berita.
Regards,
Eddy Miraddy ( Medan HRD Club )
No comments:
Post a Comment