Week end akhir bulan Juni ini saya pergunakan untuk berliburan dan rekreasi ke suatu tempat wisata pantai disebelah timur kota Medan yang berjarak kurang lebih 25 km dari pusat kota.
Jalan menuju kesana sangat bagus dan mulus dengan pemandangan alami hamparan pohon kelapa sawit di sebelah kiri dan kanan jalan.
Ada 3 lokasi pantai yang umumnya sering didatangi wisatawan , pantai Binaria , pantai Gudang Garam dan pantai Cermin dengan lokasi yang relatif berdekatan , namun karena pertimbangan kelengkapan sarana dan fasilitas , saya pilih pantai terakhir , karena infrastrukturnya tidak kalah dengan Ancol nya Jakarta, terbukti dengan dibangunnya fasilitas Funland dan Resort Hotel oleh investor Malaysia.
Singkat cerita , tak sedetikpun waktu yang diluangkan disana , setelah menonton sunset dan makan malam , menjelang tengah malam saya menyempatkan diri menyusuri tepi pantai menikmati deburan ombak selat Malaka dan kilauan sang bintang.
Hingga disuatu tempat yang tampak sepi , saya baru tersadar sudah berjalan terlalu jauh , dan memutuskan untuk kembali , nah pada saat itulah kira – kira 10 meter dari saya ada kira – kira 3 orang mengendap – endap mendekati.
Wah . . .! Habis deh saya , demikan pikiran dalam hati , teringat di saku masih membawa dompet dengan uang cash , serta sejumlah barang ,HP serta jam dan lainnya. Makin “panas – dingin “ lah saya , karena masing – masing mereka menyandang parang di pinggangnya. Saat itu yang terlintas dipikiran saya hanya nama Tuhan dan saya dalam tekanan psikologis non judgement “ Malang atau Beruntung , Aku tidak tahu “ seperti kata orang bijak.
“Dik , kesini sebentar “ salah seorang berkata sambil menarik tangan kanan saya dan mengajak saya berjongkok , keringat dingin makin mengalir deras mengingat cengkraman tangannya yang kuat di pergelangan tangan saya.
Namun sungguh diluar dugaan , kemudian dengan ramah ia memperkenalkan diri sebagai Haris Nasution , Kepling di daerah itu , Kepling di Medan adalah singkatan dari Kepala Lingkungan , setara dengan ketua RW ( Rukun Warga ) atau Lurah untuk istilah di Jakarta.
Rupanya saya salah masuk ke wilayah konservasi dan pembiakan penyu laut di pantai tersebut , mereka ternyata sedang mengamati seekor penyu yang hendak bertelur , kesempatan langka ini tidak saya sia – sia kan ketika mereka menawarkan untuk ikut mengamati ,kehadiran saya tadi dikhawatirkan menganggu sang penyu.
Dan benar saja , dari kejauhan terlihat seekor penyu besar muncul dari laut , dengan yakin walaupun lambat merayap menuju pantai , kira – kira 50 meter dari garis pantai ia berhenti dan mulai menggali pasir dengan kedua kaki belakangnya.
Haris Nasution menginformasikan saya , bahwa sang penyu menghabiskan jarak ratusan bahkan ribuan mil dari tempat asalnya , dengan resiko ditangkap nelayan , dimangsa ikan hiu sampai tewas dengan tubuh hancur tersambar baling – baling kapal hanya untuk datang bertelur dipantai tersebut.
Tak lama kemudian lubang yang dibuat penyu tercipta , ia mulai bertelur , takjub dan kagum persaaan saya menjadi satu , ratusan telur meluncur deras dari sang penyu , sementara Pak Kepling mengajak saya untuk memegang dan mengelus sang Penyu.
Sangat luar biasa ! Walaupun “ diganggu “ oleh elusan tangan saya dipunggung dan kepalanya , namun si penyu tak sedikitpun merasa terganggu , terus saja dalam keasyikannya bertelur.
Selesai ia “memuntahkan” semua isi perutnya , sang penyu segera menutup lubang tersebut , dan kembali “ mempersiapkan “ perjalanan ratusan milnya dengan segala resikonya tanpa ada jaminan dapat kembali kepantai tersebut dengan selamat tahun berikutnya hanya untuk memberikan hasil yang terbaik bagi orang lain dan keturunannya.
Dengan parang yang tadinya saya pikir untuk “ menghabisi “ saya , Pak Kepling dkk , segera menggali pasir dengan hati - hati, sebagian besar dari ratusan telur itu dipindahkan untuk ditetaskan , sebagian dijual untuk biaya operasional dan 5 butir diberikan sebagai oleh – oleh buat saya , yang akhirnya dengan segala hormat saya kembalikan lagi untuk “ titip “ ditetaskan.
Dengan harapan jika nanti sang telur menetas dan besar , saya , anak , kerabat atau rekan – rekan pembaca sekalian mudah – mudahan dapat menyaksikan “ 5 penyu milik “ saya bertelur jika nanti anda kelak berkunjung ke pantai tersebut.
Sebagai manusia “ perjalanan kita “ hampir sama , mengarungi “ samudra “ kehidupan dengan segala resiko , tantangan dan hambatan yang tidak kalah hebatnya tanpa ada jaminan untuk mencapai tepian “ pantai kesuksesan”.
Sikap tanpa pamrih sang penyu adalah salah satu contoh bagaimana kita berkontribusi dan berkarya secara diam – diam tanpa pamrih sekalipun banyak “ gangguan “ disekitar kita demi menghasilkan sesuatu yang sangat berguna bagi orang lain dan keturunan.
Coba bandingkan dengan ayam , jika ingin bertelur ia akan berkotek keras – keras sepanjang hari , seolah memberitahukan seluruh penghuni hutan dan kampung bahwa ia kan akan berkarya , yang kemudian ternyata cuma bertelur satu butir dan mungkin cuma kecil bentuknya.
Dan jikapun “diganggu” saat bertelur , ayam akan mengurungkan niatnya / ngambek untuk menghasilkan telur ( baca : berkarya ).
Jadi dalam kehidupan dan berkarya ini philosofi mana yang anda pakai Penyu atau Ayam ?
Special thanks and regards to Mr. Haris Nasution & friends in Cermin beach , Serdang Bedagai , Medan
DJODI ISMANTO
Mitsubishi Motors – Group
From nice city of
No comments:
Post a Comment