Selamat datang di dunia penuh diskriminasi,
dimana semua orang dihormati karena uang yang dimilikinya,
dimana orang hanya akan tunduk selama anda punya kedudukan..
Dan ingin tahu dimana aku mengalami hal tersebut ? di sebuah hotel..Begini ceritanya..
Hari Kamis kemarin aku harus bertugas untuk bernyanyi di hotel MUL*A di kawasan Senayan Jakarta. Keharusan untuk berkumpul jam 6 membuat aku nekat menerobos hujan lebat yang mengguyur Jakarta sore itu dengan sepeda motorku. Dengan berbekalkan hanya jas hujan dan sandal jepit aku mencoba melawan hujan itu. Terpaksa celana kulinting hingga setinggi lutut (Celana itu akan kupakai untuk bernyanyi.. konyol kalau sampai basah).
Dengan hujan selebat itu ditambah kemacetan jam pulang kantor, ternyata mustahil aku bisa sampai tepat waktu. Aku terlambat hampir seperempat jam lebih.Sesampainya didepan hotel megah itu, aku pun mencoba untuk bertanya kepada satpam yang bertugas dimana parkir untuk motor tersedia... tapi yang kudapat hanya jawaban :
"Motor blakangg.. motor belakanggg .. " dengan kasarnya.
Aku mencoba tetap sabar dan berpikir positif, walau kental sekali aroma pengusiran itu karena aku hanya naik sepeda motor dan memakai sandal jepit. Sementara yang berjejer mengantri masuk adalah mobil-mobil berkelas yang sudah siap mengikuti acara bersangkutan.
Sampai dibelakang aku akhirnya masuk dan mencari-cari dengan susah payah signage yang menunjukan parkir sepeda motor. Barulah setelah beberapa kali bertanya aku mendapatkan jalan masuk ke tempat parkir motor. Hotel ini sama sekali tidak komunikatif terhadap sepeda motor. Dugaanku sederhana, kehadiran sepeda motor sebenarnya tidak diharapkan pada hotel ini. Signage seadanya... parkir sepeda motor gratis (menunjukan keyakinan hotel ini bahwa tidak banyak sepeda motor yang akan masuk sehingga tidak perlu di-protect dengan harga parkir tertentu.... bayangkan, selama 4 jam aku memakirkan motorku disitu, tak sepeserpun harus kubayar, sementara mobil harus membayar kira-kira 8000-10000 rupiah.
Aku pun naik kelantai 6 dari gedung parkir untuk bisa masuk kebagian lobby dari belakang. Tapi apa yang kudapatkan ?
"Maaf pak, sandal jepit tidak diperbolehkan. Bapak harus mengganti dengan sepatu"
Padahal celana sudah kuturunkan hanya memang masih menggunakan sandal jepit karena kakiku masih basah sehabis hujan. Aku "dipaksa" untuk memakai sepatu saat itu juga sebelum masuk kegedung megah itu. Aku menolak dengan keras karena tidak mungkin aku bernyanyi dengan kondisi kaki lembab.. Sebagai gantinya, aku hanya ingin disediakan tissue dengan cepat.Tapi mereka tidak mampu menyediakan tissue dengan cepat.. sementara aku harus benar-benar buru-buru ketempat berkumpul karena sudah terlambat lebih dari 20 menit (mana belum ganti kostum pula). Dengan terpaksa sekali aku membentak petugas, hal yang sebenernya aku tidak ingin aku lakukan. Untunglah manajer turun untuk menyelesaikan masalah dan membolehkan aku untuk masuk dengan sandal jepit karena urusan darurat.
Pada dasarnya aku mengerti hotel itu punya peraturan. Tapi kenapa jadi masalah diskriminasi ? Karena teman-teman ku banyak yang memakai sandal jepit tapi diperbolehkan masuk. Kesimpulannya ? Karena aku basah, jelas naik motor dan memakai sandal jepit... merupakan sinyalmen buruk buat hotel...
Keluar dari gedung parkir ketika pulangpun ternyata bermasalah. Ada bagian-bagian yang tidak boleh dilalui motor. Petugas menghalau dengan pandangan merendahkan, menyuruhku untuk melalui jalan lain. Hanya mobil-mobil yang boleh keluar melalui pintu depan Asia-Afrika. Motor hanya boleh melalui pintu belakang dan keluar ke jalan Patal Senayan. Mungkin mereka malu kalau ada motor yang keluar dari hotel.
Luar biasa bagaimana aku menjadi saksi bahwa manusia memandang orang lain karena apa yang dipakainya, apa yang dibawanya. Seakan orang-orang yang "kelihatannya" tidak memiliki apa-apa bukanlah tamu. Bahwa sepeda-motor bukanlah sarana yang tepat untuk masuk ke hotel tersebut. Bahwa orang-orang ini bukanlah "MANUSIA".
Tulisan ini bukan mengenai hotel MUL*A ... Tulisan ini adalah mengenai bagaimana manusia memandang orang lain. Meskipun memang dalam hal ini diwakili oleh petugas-petugas disana.
Mata adalah alat yang diciptakan Tuhan untuk melihat, bukan menghakimi ...
Terima kasih hotel MUL*A, aku jadi tahu bagaimana orang memandang orang yang tidak diharapkan ditempat itu. Sukses selalu. :)
*Martinus Ardian adalah seorang programmer pada sebuah konsultan IT di Jakarta. Saat ini aktif pada organisasi paduan suara Vox Angelorum - Maria Bunda Karmel dan PSM Bina Nusantara. Ia dapat dihubungi pada: martinus_ardian@yahoo.com atau martinus.ardian@gmail.com
No comments:
Post a Comment