Cerita klasik ini diawali ketika tentara Jepang berdatangan dalam rangka menduduki Indonesia dan mengaku sebagai saudara tua. Pada sebuah desa di pesisir laut selatan, hiduplah seorang bapak berrsama anak tunggalnya, tanpa seorang ibu karena sudah terlebih dahulu dipanggil Tuhan.
Pada masa tersebut sampai hamper berakhir penjajahan Jepang, seringkali terjadi peperangan dan banyak makan korban baik jiwa maupun harta.
Suatu ketika Si Anak bertanya kepada bapaknya,
“Pak, negeri ini sedang terjadi apa? Kenapa banyak orang berperang, saling bunuh dan banyak yang diangkut orang-orang putih tersebut dengan truk?”
”Bukan perang Nak, itu mereka sedang berlomba dan bermain. Mereka bermain seperti saat engkau dan tetamn-temanmu dolanan bersama. Dan itu ada hadiahnya Nak..... Yah hadiahnya besar sekali, pesawat terbang”, jawab Bapaknya dengan mantap.
”Benar Pak? Bapak tidak bohong kepada saya?”, anaknya tidak percaya.
”Benar anakku, mana mungkin Bapak berbohong kepadamu”, jawab Bapaknya.
”Tapi, permainan dan perlombaan ini hanya boleh untuk para orang tua, sedang anak-anak tidak boleh melihat. Kalau melihat salah satu peserta permainan ini bisa celaka, juga kalau anak-anak yang terlihat sedang menonton bisa celaka. Hadiah tidak diberikan”, cerita Sang Bapak.
"Setelah selesai bermain, kadang ada yang tidur lama beristirahat, kadang ada yang diajak naik truk menuju restoran yang enak-enak", lanjut Sang Bapak.
Akhirnya Si Anak percaya sekali akan kata-kata Bapaknya, dan setiap terjadi peperangan disekitar rumahnya dia bersembunyi, untuk menghindar agar tidak terlihat kalau dia sedang menonton para orang tua bermain perang-perangan. Karena dia takut Sang Bapak tidak mendapat hadiah.
Pada suatu hari, tentara Jepang berdatangan ke desa tersebut kembali. Mereka telah bersiap dengan kendaraan dan alat perang. Peperangan tidak bisa dihindarkan.
Sang Bapak berpesan kepada Sang Anak,
"Nak, bapak harus berangkat bermain, kamu segera sembunyi saja supaya tidak terlihat. Nanti kalau bapak bermain dan menang, akan ada hadiah pesawat terbang. Bapak belum tahu apakah nanti sehabis bermain bapak diajak makan-makan direstoran atau bapak harus tidur lama untuk istirahat".
Sang Anak segera berlari bersembunyi dan mengintip dari sebuah lobang. Dia melihat bapaknya ikut bermain dalam peperangan, dan tidak lama kemudian tangannya mulai dipegang oleh teman bermainnya dan diajak naik ke truk. Sang Bapak tahu persis, kalau anaknya melihat kejadian tersebut.
Dia berjalan sebagai tawanan perang, namun dia tetap berjalan tegak, tersenyum dan sesekali sengaja menengok kerumahnya, untuk meyakinkan Sang Anak, bahwa dia sedang diajak ke restoran dan makan enak-enak. Dia tidak mau menampakkan sdikitpun kalau dia saat ini menjadi pesakitan dalam tawanan.
Sang Anak merasa yakin sekali kalau bapaknya sedang diajak makan-makan, dia tidak sedikitpun bersedih. Dia saat ini sedang dengan bangganya menunggu hasil permainan yaitu hadiah. Tidak selang lama terlihatlah diangkasa beberapa pesawat tempur sedang melaju dengan cepat. Sang Anak berfikir bahwa sang Bapak menang dalam permainan. Dan kini hadiah itu tiba.
Rekan sekalian, itulah sebuah kekuatan yang tertanam dalam fikiran. Dengan sangat kuat Sang Bapak menanamkannya. Sehingga saat bapaknya ditangkap dan menjadi tawanan, dia tetap bersikap bahagia dan bangga, karena dalam fikirannya Sang Bapak telah menang dan mendapat hadiah. Dalam keseharian hal ini sering terjadi pada kita, kadang tanpa kita sadari.
Pengaruh kuat dalam fikiran kita sangat terlihat dalam kita bersikap. Semoga pengaruh positif yang tertanam kuat dalam fikiran kita. Sehingga dalam sikap terlahir sesuatu aksi positif juga.
source : Yant Subyanto
Friday, May 4, 2007
PRINSIP SEORANG ANAK
Posted by DJODI ISMANTO at 4.5.07
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment