Seorang teman di perusahaan saya yang lama yang sempat saya temui saat ke Jakarta beberapa waktu yang lalu, sempat menjadi bahan guyonan. Bukan karena beliaunya lucu kayak Tukul Arowana atau wajahnya unik kayak Mr. Bean, melainkan karena rumahnya berada di Porong. Akhirnya semua pertanyaan yang ditujukan pada Mas Totok ─ begitulah namanya ─ selalu berkaitan dengan semburan lumpur panas Lapindo yang kini kian terkenal itu.
Tetapi saat ia menceritakan keadaan di sekitar rumahnya, ada celetuk menarik darinya. Menarik sekaligus ironis. “Untung masih ada jalan raya porong,” ucapnya singkat dengan mimik serius. Lho kok? “Kalau nggak ada jalan raya porong, masyarakat korban semburan bakalan tak menentu nasibnya.
Jalan raya porong adalah jalan raya utama yang menghubungkan Malang-Surabaya dan kota-kota lainnya di Jawa Tikur yang menuju Surabaya. Dalam kata lain, jalan ini adalah urat nadi transportasi Jawa Timur. Ketika lumpur membajiri jalan raya porong dan memaksa jalan tol tak bisa dioperasikan, alur transportasi menjadi macet dan otomatis biaya menjadi semakin mahal. Sekarang saja dengan masih tak menentunya sampai kapan semburan lumpur panas berhenti, jarak Surabaya Malang yang rata-rata bisa ditempuh dalam waktu 2 jam, bisa molor menjadi 3-4 jam.
Dalam keadaan macet total bisa mencapai 6 jam. Memang ada jalan alternatif melewati jalanan kampung yang sempit. Tapi jalan itu hanya bisa dilalui oleh mobil kecil. Bus antar kota tak bisa melewatinya dan terpaksa pasrah menerima keadaan.
Memang masih untung kita terjebak kemacetan (sudah macet masih untung juga. Namanya juga orang Indonesia). Masyarakat korban lumpur bukan hanya macet jalannya, tetapi macet juga rezekinya. Macet masa depannya. Macet harapannya. Berbulan-bulan setelah mengungsi (semburan lumpur bermula sejak 29 Mei 2006), nasib mereka tak menentu. Ganti rugi tak juga turun. Tempat tinggal yang mungkin baru bisa mereka beli setelah menabung bertahun-tahun lamanya, kini menguap di depan mata. Mata pencarian pun lenyap karena 20 pabrik besar tutup dan 1000 orang pekerja terkena PHK. Kalaupun ada yang kebetulan bekerja di tempat yang tak terendam lumpur, mereka harus menambah ongkos transportasi untuk mencapainya. Dalam kondisi yang mengenaskan, pemerintahpun tak tegas berpihak.
Diombang-ambingkan ketidakpastian, menyulut masyarakat bergerak sendirian. Beberapa waktu yang lalu beberapa masyarakat korban lumpur menutup jalan raya sebagai protes atas belum dibayarnya ganti rugi (masih dihibur dengan istilah ganti untung. Siapa yang untung sebenarnya?) rumah mereka yang terendam. Hebatnya mereka masih menyertai demostrasi penutupan jalan dengan aksi simpatik, membagikan bunga sebagai ucapan maaf kepada setiap pengguna jalan yang terganggu dengan aksi mereka. Bukan main. Pemerintah mestinya malu. Tak ada keberpihakan. Tak ada aksi nyata di lapangan. Presiden yang katanya akan bertindak tegas dan terang tak segera memaklumkan bencana ini sebagai bencana nasional. Konon katanya karena takut dengan berubahnya status menjadi bencana nasional, pemerintahnyalah yang harus menanggung semua biaya bencana.
Untung masih ada jalan raya porong, kata Mas Totok. Memang lagi-lagi untung. Pemerintah pun terpaksa repot mengurusi jalan raya strategis yang terendam lumpur. Belum lagi harus memikirkan memindahkan rel kereta, gardu listrik dan pipa gas pertamina yang sempat meledak. Perekonomian Jawa Timur merugi sekitar 13 triliun akibat transportasi antar kota yang terganggu, tutupnya pabrik, distribusi produk ekspor yang semakin mahal dan hancurnya industri pariwisata. Mau tak mau pemerintah harus cawe-cawe kalau tak mau merugi lebih banyak lagi. Coba kalau ada tak ada jalan raya porong, mungkin tak ada lagi kunjungan pejabat ke areal semburan lumpur porong. Demonstrasi tak lagi didengar. Atau pasar porong akan berubah menjadi perkampungan baru yang penuh sesak dan kumuh tempat orang-orang terbuang yang tercerabut begitu saja dari kehidupannya yang nyaman.
Untung masih ada jalan raya porong.
No comments:
Post a Comment