Myspace Backgrounds

Tuesday, June 26, 2007

Pemetik Teh


Para wanita pemetik teh itu sosok teladan paling alami bagi mereka yang ingin belajar bekerja tuntas.

Hamparan hijau perdu-perdu teh itu telah menunggu para wanita pemetiknya. Perkebunan teh ini biasanya terletak di dataran tinggi, di pinggang gunung dengan ketinggian antara 800 hingga 2.000 meter di atas permukaan laut. Curah hujan relatif tinggi dengan rata-rata suhu berkisar 18-23 derajat Celcius. Apa arti semua data topografi ini? Data-data itu menunjukkan bahwa perkebunan teh itu selalu di dataran yang terjal, dingin dan kaya akan kabut tebal.


Di tempat seperti inilah para wanita pemetik teh bekerja setiap harinya. Hari usai mentari terbit, pukul enam pagi mereka pergi hingga menjelang azhar. Di pundak merekalah pabrik-pabrik teh meletakkan target produksinya. Pemetik teh itu tulang punggung produksi teh nasional kita. Namun, seperti petani dan juga nelayan, kemapanan ekonomi mereka tak pernah baik. Penghasilan para wanita pemetik teh, yang rata-rata adalah tamatan sekolah dasar, dan yang bekerja sekadar untuk membantu keluarga atau para suami masih bertengger di bawah upah minimal.

Seperti apa pekerjaan mereka sesungguhnya? Sederhana tapi cukup berat! Memetik teh harus memahami seluk beluk pertumbuhan tunas teh dan cara memetik yang benar. Teknik petik yang salah akan berpengaruh terhadap target produksi setiap bulannya. Ambil contoh, area perkebunan seluas 500 hektar, siklus petiknya rata-rata sepuluh hari sekali. Artinya, setiap hari area lahan yang harus dipetik seluas 50 hektar. Target petik seluas itu harus tercapai, jika tidak, risikonya pucuk teh mekar atau menjadi tua, dan kualitas turun. Jika ditunda, wanita pemetik ini harus siap lembur. Pekerja yang sederhana ini tampaknya harus berhadapan dengan deadline. Para pemetik teh ini harus bekerja tuntas, dan deadline itu ternyata bukan cuma milik mereka yang bekerja di kantor berAC.

Tantangan untuk menuntaskan pekerjaan bukan cuma luas area petik. Para wanita ini harus menerobos dinginnya embun dan kabut pagi, dan bekal mereka rata-rata sekeping gula Jawa untuk menangkal rasa lapar dan dahaga selama bekerja. Terlebih saat musim hujan, pemetik harus benar-benar tegar. Jika harus menggunakan pisau petik, dinginnya udara bisa membuat jari-jari teriris tanpa terasa. Mereka harus bekerja di dalam kabut, terpaan angin, dan dengan pakaian basah kuyup, tentu saja ini membuat ngilu tulang belulang mereka. Para pemetik tetap harus mengejar target area petik.

Gangguan lain yang harus dihadapi selama memetik teh adalah ribuan pacet, semacam lintah kecil saat musim hujan; ulat matahari yang gatal dan panas yang biasanya ngendon di tanaman teh yang tua; serbuan lebah serta ulat kaji yang menjijikkan. Tetapi para wanita pemetik teh ini tak surut bekerja, mereka lebih memilih perkebunan teh ketimbang duduk termangu di rumah.

Inilah etos kerja para wanita pemetik teh, sosok teladan paling alami bagi mereka yang ingin belajar bekerja tuntas.

*) Dipetik dari kumpulan tulisan Bp. Jansen H. Sinamo dalam kontempelasi yang berjudul "Dari Pemikat Perkutut sampai Pemenang Nobel."

No comments: