BUAH SENGSARA
Di depan pagar rumah saya di Medan ada tersisa tanah cuma selebar parit tebal. Tapi kepadanya saya sebarkan bermacam-macam biji-bijian dan bibit apa saja, dari buah sampai bunga. Tepatnya bukan saya sebarkan, tetapi apapun biji buah yang habis dimakan, saya buang kepadanya. Hasilnya memang sudah seperti yang sudah saya duga, tanah seluas alis mata itu jadi sarat menanggung beban berat karena memuat aneka tanaman sebanyak hutan belantara.
Di situ tumbuh puluhan bunga dan buah berdesak-desakan jadi satu. Jauh dari ideal itu pasti, saling berebut, dan rebutan yang paling sengit pasti soal lokasi. Saya memang tidak memprioritaskan soal idealisme pertumbuhan karena itu tidak mungkin. Saya cuma ingin takjub, betapa tanah yang cuma selebar parit itu bisa memuat keragaman tanaman serupa hutan. Dan kepada tetangga dan teman-teman, saya bangga memamerkan belantara mini ini.
Bahwa untuk memiliki hutan, manusia tidak perlu menjarah tanah tetangganya. Karena yang paling berbahaya ialah jika kita gemar membangun keluasan sambil menyempitkan sesama, apalagi jika keluasan itu akhirnya cuma sia-sia. Di pulau Jawa semua tanah sudah ada pemiliknya, tetapi tanah mengangur masih begitu banyaknya. Ada jenis tanah yang dibeli hanya untuk dinikmati keluasannya, tetap ia tidak bermanfaat apa-apa bagi manusia di sekitarnya.
Kembali dengan hutan di depan pagar rumah saya itu. Di antara bermacam-nacam tumbuhan itu, ada dua yang paling tua umurnya, karenanya ia paling tinggi tumbuhnnya, pertama buah jambu biji, kedua buah durian, kebetulan dua-duanya adalah buah yang dianggap murahan ( karena banyaknya ), tapi kebetulan keduanya adalah buah kesukaan saya.
Jambu biji saya sukai ketika ia dipetik menjelang tua. Ketika rasanya sudah mulai manis tetapi dagingnya masih keras. Kekerasan ini penting untuk melatih gigi, baik gigi saya maupun gigi anak-anak saya. Sudah bukan rahasia lagi, jika gigi anak-anak sekarang tidak mengalami pertumbuhan yang sempurna karena rahang mereka kurang bekerja. Terlalu banyak makanan instan dan ini membuat mulut jadi kekurangan pekerjaan. Banyak mulut yang lebih banyak dipergunakan untuk ngerumpi ketimbang mengunyah. Akibatnya pertumbuhan gigi menjadi korban.
Sedang durian saya sukai, karena inilah buah yang selalu dibawakan istri sepulang dari pasar. Itulah oleh-oleh yangselalu dibawa oleh istri saya sepulang dari bepergian atau antar anak sekolah. Keuntungan yang lain, buah ini selalu aman ditangkainya karena tak pernah digrubris oleh siapa saja.
Buah-buah ini dikenal amat murah, di toko buah pun kedudukannya hanya sebagai figuran belaka. Di perumahan saya di Medan , ketika buah kelengkeng bangkok menjadi primadona, semua orang giat menanamnya. Jika ada tetangga yang telah tua pohon kelengkengnya, tetangga lain sibuk mencangkoknya. Ketika semua orang rama-ramai mencangkok kelengkeng, dan saya menawarkan durian saya untuk dicangkok juga, para pencangkok itu malah tergelak demikian kerasnya. Bisa jadi mereka geli, tapi bisa juga merasa terhina ketika harus mencangkok sekadar durian lokal.
Buah yang ditertawai tetangga itu membuat saya termangu-mangu. Demikian murahnya buah-buah ini sehingga orang yang ditawari untuk menanamnya pun cuma menyambutnya dengan tawa menghina. Hampir-hampir saya jatuh iba pada buah-buah yang malang ini, jika kemudian tidak teringat, betapapun sengsara nasib buah ini, setidaknya keduanya memiliki saya yang mencintainya. Yang satu saya cintai karena perannya sebagai penguat gigi yang luar biasa, yang satu adalah buah pengingat istri yang selalu setia diperantauan. Peran yang tidak mungkin digantikan oleh kelengkeng terbaik dan oleh anggur termahal sekalipun.
Apa yang bisa kita pelajari . . . . . .
Setiap dari kita, bisa jadi bukanlah mahkluk-mahkluk idola, tetapi ternyata selalu tersedia orang yang mencintai kita. Jambu biji dan durian ini tak perlu merubah diri menjadi anggur atau apel untuk menerbitkan cinta saya. Betapapun jelek dan payah kita ini, selalu ada orang yang mencintai kita. Percayalah!
Regards.
From nice city of Medan
No comments:
Post a Comment