PELANGGAN DAN PENUMPANG
”Para penumpang yang terhormat, selamat datang pada penerbangan GA 416 tujuan Denpasar,’ begitu sapaan awal salah seorang pramugari Garuda sebagai pengantar take off”
Kalimat itu sudah sangat sering saya dengar dan selama puluhan tahun tidak menimbulkan impresi apa pun dalam diri saya. Saya anggap sebagai sesuatu yang normal dan biasa. Namun entah kenapa, sore itu saya sempat terusik dan timbul kesadaran bahwa ada yang kurang pas dengan sapaan itu. Saya mencoba mendengarkan lagi sapaan berikutnya sesudah take off, kali ini saya memperhatikan dengan seksama. Dan sapaan itu berulang kembali dengan kalimat pembuka, ‘Para penumpang yang terhormat’, padahal dalam versi bahasa Inggris pramugari menyapa dengan ‘Ladies and gentlemen’.
Entah kenapa saya langsung bereaksi, saya katakan pada rekan seperjalanan, ‘ Erlin, kamu itu penumpang ya di pesawat ini? ‘Masak kita dikatakan sebagai penumpang.’ Erlin Komang teman saya, seperti biasanya, tidak langsung bereaksi. Dia ikut mengernyitkan kening. Tak lama kemudian barulah ia bereaksi, ‘Saya baru mikir sekarang kenapa kita disebut penumpang’
Kami pun tidak melanjutkan diskusi karena termenung memikirkan siapa kita ini di hadapan Garuda? Beberapa waktu berselang, saya sempat pula bepergian menggunakan Merpati, dan mencoba memperhatikan sapaan Merpati buat saya. Saya terkejut tatkala sapaan yang terdengar adalah ‘Para pelanggan yang terhormat’ dan dalam versi bahasa Inggris disampaikan dengan sopan: ‘Dear customers’. Saya pun memperhatikan sapaan awal dari Singapore Airlines (SQ) yang ternyata membuka dengan ‘Ladies and gentlemen’ dan dalam versi bahasa Melayu: ‘Tuan-tuan dan puan-puan’. Apa yang menyebabkan saya gundah? Toh hanya sebuah sapaan awal yang tentunya tidak menimbulkan efek apa pun dalam hal kualitas, biaya, pengantaran, keselamatan dan morale. Tunggu dulu, benarkah demikian?
Sapaan, sebutan, dan panggilan yang dilakukan secara terus-menerus akan menimbulkan dampak impartasi yang luar biasa pada penyebut dan yang disebut. Pramugari sebagai representasi dari seluruh karyawan Garuda, secara tanpa sadar terimpartasi bahwa selama ini yang menjadi objek pelayanan mereka adalah penumpang. Penumpang yang dalam banyak hal sudah biasa diartikan sebagai orang yang menumpang, dan menumpang artinya ikut tinggal, ikut singgah tanpa membayar, atau kalau membayar pun ala kadarnya. Itu persepsi otak kanan yang lebih sensitif, belum tentu sama dengan otak kiri yang lebih rasional dan cenderung mengabaikan hal sepele.
Impartasi kalau terus-menerus dilakukan sehingga menjadi mantra, akan melahirkan sikap penanganan selanjutnya, dan dalam jangka panjang lahirlah sebuah budaya perusahaan sebagai budaya melayani penumpang. Jadi, kalau ada keterlambatan atau pembatalan, tidak perlu dipikirkan bagaimana melayani dengan baik dan menyediakan fasilitas yang sepantasnya agar mereka tidak marah. Pokoknya sekadar nasi boks murahan, penyampaian berita ala kadarnya, karena dalam alam bawah sadar seluruh jajaran operasional di lapangan, mereka hanyalah penumpang.
Penumpang bukanlah raja. Maka, cukuplah mendapat pelayanan dan ganti rugi seperlunya. Masih lumayan Garuda menggunakan Pelayanan Pelanggan (Customer Service) bukan Pelayanan Penumpang, dan Garuda juga ikut serta dalam Hari Pelanggan Nasional, serta berambisi terus mempertahankan perusahaan dengan indeks kepuasan dan loyalitas pelanggan bukan penumpang (ICSA dan ICLA, bukan IPSA dan IPLA).
Sebaliknya Hotasi Nababan, big boss Merparti, mantan petinggi GE dan lulusan GE Change Acceleration Program, sadar bahwa mengubah kultur dimulai dari mengubah sapaan, sebutan dan panggilan terhadap pengguna jasanya. Merpati menyebutnya sebagai ‘Para pelanggan yang terhormat’, dan versi bahasa Inggrisnya: ‘Dear customers’. Ini sangat memengaruhi cara Merpati memperlakukan pengguna jasa sebagai pelanggan dan bukan sebagai penumpang.
Menyebut pemakai jasa kita yang notabene sumber pendapatan, sebagai pelanggan (Merpati), sahabat (Southwest Friends), keluarga (Alfa Family), anggota (Club Member) , cutomer ( Astra World ) tentu sangat memengaruhi cara tindak budaya perusahaan. Ini langkah awal pertama yang saya sebut sebagai tahap impartasi. Impartasi dari pemimpin tertinggi dalam menyebut pengguna jasa akan memengaruhi kebijakan yang diambil dalam memuaskan pengguna jasa mereka.
Tahap kedua adalah intensitas yang berarti implementasi dalam customer intimacy, yang buat Southwest artinya fun, friendship dan rileks. Gaya kostum pramugari, cara berhumor di depan sahabat mereka, menjadikan hubungan di udara sedemikian informal. Mereka mudah cerita apa saja, joke atau story di udara tanpa rasa takut menggangu pengguna jasa. Toh mereka adalah sahabat. Tidak heran, Southwest menjadi penerbangan bergaya low cost carrier pertama yang sukses yang menjadi world benchmark. Buat Sir Richard Branson, pemilik Virgin, pengguna jasa adalah Sir and Madame, maka pelayanan Virgin bergaya aristokrat dengan seat yang seluruhnya kelas bisnis dan pelayanan formal dengan kualitas yang sangat prima. Sementara pada Virgin Blue, Branson meniru Southwest dengan memperlakukan pengguna jasa sebagai Bro and Sisters. Dalam gaya Alfa Grosir, pengguna jasa adalah keluarga yang bisa diajak nonton bareng bersama di Bioskop 21 sebagai hadiah voucer belanja, bukan sekadar diskon.
Tahap ketiga masuk ke introspeksi, tatkala ada keluhan dan umpan balik (feedback). Bagi manajemen yang menganggap pengguna jasa sebagai pelanggan, sahabat dan keluarga tentu sangat berbeda dari sekadar penumpang, konsumen dan pembeli. Cara SQ menangani keterlambatan bagasi di Narita beberapa saat yang lalu, membuat mereka rela mengeluarkan 55 ribu yen agar rekan saya bisa membeli jas baru karena harus segera menghadiri pertemuan bisnis, dan 10 ribu yen buat rekan yang lain untuk mengganti tas yang robek. Karena kesungguhan pelayanan ini, kedua top manajemen ini tidak tersinggung dan marah, bahkan memuji cara manajemen SQ dalam memberi empowerment sehingga langsung bisa membeli imbalan yang pantas. Tanpa bertanya dan menginterogasi bak polisi, mereka selalu bersikap menimpakan kesalahan pada pihaknya, bukan pihak pelanggan. Ini sikap introspeksi yang mumpuni.
Kalau begitu, untuk direnungkan, sebutan apa yang Anda berikan pada pengguna jasa Anda? Pembeli, konsumen, penumpang, pelanggan, sahabat, keluarga, anggota atau sekadar seseorang? Anda akan terkejut, bahwa budaya perusahaan Anda akan berakar di situ. Sebelum terlambat, gantilah sebutan Anda.
Dan itu harus dimulai dari Anda sebagai pemimpin di bidang pelayanan !!
Regards,
DJODI ISMANTO
From nice city of Medan
No comments:
Post a Comment