Pesawat Garuda yang mendarat dengan ban pecah di Makassar belum lama ini, adalah sebuah pendaratan yang harus ditepuk tangani dalam arti: betapa keberhasilan pilot dan para awak dalam mendaratkan pesawatnya adalah sebuah prestasi. Kita bisa membayangkan betapa mencekam pendaratan ini. Setelah hampir menyentuh daratan, pesawat harus kembali berputar-putar tak kurang dari setengah jam,
Waktu yang pasti amat terasa lama bagi keadaan terapung-apung di udara, dengan maut mengintai begitu dekatnya. Tetapi pasti tidak cuma penumpang yang tegang, kita membayangkan betapa berat beban pilot dan para awak dalam keadaan begini. Betapa kesalahan kecil dalam membuat keputusan, akan berakibat kematian massal. Maka keberhasilan awak ini dalam berjibaku menjalankan tugasnya, harus ditepuk tangani. Tidak cuma pihak Garuda harus merayakan keberhasilan itu, tetapi juga masyarakat luas.
Tradisi untuk merayakan pencapaian-penacapaian luhur, adalah kebiasaan yang akan membuat masyarakat menjadi sehat. Walau setelahnya, kita harus kembali kepada kebiasaan menegakkan aturan, menepati prosedur dan menepati standar-standar, sebuah budaya yang masih belum benar-benar menjad kebiasaan.
Di balik insiden ban pecah itu, pihak Garuda harus menjelaskan kepada publik tidak cuma sebab-sebabnya, tetapi juga prosedur-prosedur apa yang perlu dilakukan ketika pesawat mengalangi gangguan serupa. Jauh lebih penting lagi, model antisipasi seperti apa yang bisa disiapkan, jika sebuah pesawat mengalami soal serupa. Memang, teknologi paling mutakhir pun tidak mungkin menjamin keamanan seluruhnya. Tetapi keamanan, dan rasa aman adalah dua soal yang berbeda. Musibah selalu menjadi kemungkinan yang harus diterima dengan rela. Tetapi setidaknya, di tengah kemungkinan musibah, para penumpang, masih berhak menikmati rasa amannya.
Kejujuran dalam menginformasikan hak-hak publik adalah bukti ketulusan sebuah korporasi kepada publiknya, kepada stakeholder-nya, dan kepada dirinya sendiri. Dan ketulusan semacam itu, akan membuat siapa saja tidak kehilangan cinta publiknya, dan menempatkan sebuah musibah, sebagai derita bersama.
Pembelajaran dari kasus IPDN, sungguh harus menjadi cermin bersama. Bahwa memusuhi Inu Kencana, seorang dosen yang gencar membuka belang almamaternya sendiri itu, hanya menjadi bumerang bagi rektor kampus itu sendiri. Adalah keputusan gegabah, memusuhi pihak yang tengah menjadi wakil hati nurani publik. Tindakan menutup-nutupi kesalahan, terbukti malah hanya membukan aib secara keseluruhan.
Regards,
From nice city of Medan
No comments:
Post a Comment