GELOMBANG perubahan bergejolak yang melanda Indonesia sejak 1997 sudah menelan 4 rezim berturut-turut: Soeharto, Habibie, Gus Dur, dan Megawati. Di tingkat korporat, gelombang yang sama menggulung pula ratusan perusahaan, bank, dan grup konglomerat. Tokoh-tokoh bisnis zaman itu -– dulu wajah-wacana mereka mendominasi media massa -– kini lenyap bagaikan sekam terempas puting beliung ke rawa kumuh.
Sungguh, suatu pagelaran change management yang gagal total. Sebuah tragedi nasional yang mesti jadi pelajaran berharga bagi siapa pun yang bertelinga. Di antara sedikit grup usaha besar yang selamat, meskipun sempat babak belur, ialah PT Astra International yang didirikan William Soeryadjaya tahun 1957.
Meskipun Om Willem tidak lagi di Astra saat krisis itu, tetapi generasi penerusnya, Teddy Rachmat dan Rini Soewandi, berhasil mendayung biduk Astra berselancar mengarungi badai. Kegagalan dapat dijelaskan. Begitu pula keberhasilan.
Yang terakhir ini dikisahkan Charlotte Buttler dalam Dare To Do: The Story of William Soeryadjaya and PT Astra International (2002).
Buttler menutup bukunya dengan kalimat begini, “The group that William had created looked indestructible. It had not just survived, but looked set to flourish once more.”
Sebelum krisis, Astra dikenal sebagai grup paling kredibel di Indonesia, dan pasca krisis, predikat itu direbutnya kembali. Teddy Rachmat, CEO Astra 1984-2002 – diinterupsi sebentar oleh Rini Soewandi tahun 1998 – dikenal luas sebagai pemimpin terpuji yang menakhodai kapal Astra. Namun ada seorang tokoh yang nyaris tak pernah disebut media massa Indonesia di balik kelenturan Astra berselancar itu.
Dialah sang arsitek transformasi Astra: Charlo Mamora.
*** SIAPAKAH Charlo Mamora? Teddy Rachmat menjulukinya “Arsitek Astra”.
Rachmat -– delapan belas tahun didampingi Mamora hingga pensiun -– lebih tajam mengkristalkan peranan pria kelahiran Sibolga, Sumatera Utara, itu sebagai The Architect of Astra Human Capital Management and Management System Practices.
“Dia ini mitra saya mengubah desain Astra menjadi kenyataan,” tegas Rachmat lebih lanjut. Di banyak halaman Dare To Do, Buttler menjelaskan lebih detail peranan instrumental dan strategis yang dimainkan Mamora bersama raksasa-raksasa Astra lainya seperti Budi Setiadharma, Michael Ruslim, Rudyanto Hardjanto, Benny Subianto, Hagianto Kumala, dan lain-lain. Sebagai eksekutif ex-IBM, Mamora begabung dengan Astra di akhir dekade 70-an.
Tipikal eksekutif muda masa itu yang merasa karirnya sudah mentok di perusahaan multinasional, Mamora ikut merasa terpanggil membesarkan perusahaan lokal yang haus sumbangan profesionalisme dari putra-putri Indonesia yang beruntung mengecap kultur itu. Di barisan ini, satu dekade kemudian, Rini Soewandi, bankir ex-Citibank, juga ikut bergabung. Pasca Astra kelak, Rini bahkan melejit menjadi Menperindag dalam Kabinet Megawati. Pada permulaan dekade 80-an, Astra bertekad menjadi perusahaan profesional. Ketika Rachmat kemudian menjadi CEO, ia segera menerapkan Total Quality Management secara besar-besaran.
Bersama Mamora sistem manajemen Jepang ini mereka adaptasi menjadi Astra Total Quality Management. Program ini pun menuai sukses. Inilah permulaan era pertumbuhan cepat Astra menjadi grup usaha besar dan profesional. Fase pertumbuhan cepat ini mengalami berbagai desakan sentrifugal yang bersifat memecah. Untuk mencegahnya, dibutuhkan kekuatan penahan yaitu budaya perusahaan (corporate culture). Pada tahun 1984, Mamora -– sarjana ilmu pasti dari Sanata Dharma, Yogyakarta, yang saat itu menjabat Kepala Divisi Pengembangan SDM merangkap Kepala Divisi Pengembangan Manajemen -– diserahi tugas memimpin pengembangan dan implementasi corporate culture Astra. Inilah yang kemudian dikenal sebagai Catur Dharma Astra yaitu
(1) Respek pada individu dan kerjasama;
(2) Berjuang meraih keunggulan;
(3) Pelayanan terbaik bagi pelanggan; dan
(4) Menjadi aset bagi bangsa.
Sejak itu pula tugas Mamora bersifat sangat strategis: Mentransformasikan Astra menjadi perusahaan unggul. Misinya saat itu dikalimatkan sebagai “To bring Astra to excellence”. Dalam kurun 1983-1987, Mamora menangani berbagai inisiatif strategis. Dalam rangka transformasi itu sejumlah sistem dan konsep dikembangkannya menjadi praktik standar di seluruh grup Astra. Bahasa manajemen Astra disatukannya. Rule of the game anggota Astra dirumuskannya. Ia juga membangun infrastruktur informasi untuk membantu para eksekutif Astra mencapai excellence.
Di bawah kepemimpinan Mamora, tiga fungsi strategis dalam setiap transformasi: Pengembangan SDM, Pengembangan Manajemen, dan Sistem Informasi Manajemen dikendalikannya secara simultan. “Efek sampingnya, ada yang menuduh saya membangun kerajaan sendiri”, kenang Mamora tersenyum. Syukur, program yang dievaluasi oleh INSEAD Prancis ini dinyatakan sebagai sukses.
Tahun 1988, Mamora mencanangkan Man Management Astra sebagai fase kedua menuju excellence. Melalui pelatihan yang masif, program ini membentuk gaya manajemen Astra yang dicirikan oleh kepedulian yang seimbang pada pengembangan SDM dan kinerja bisnis. Dalam empat tahun pertama sebanyak 1.500 manajer Astra sudah mengikuti program ini.
Serentak dengan itu Mamora juga terlibat dalam pengembangan Astra VSCL (Vision, Strategy, Culture, and Leadership). “Saya yakin jika kami mempunyai VSCL yang benar maka excellence akan mengikuti Astra”, tegasnya. Fase berikutnya, Mamora menata kantor pusat Astra. Peran kantor pusat dirumuskannya sebagai fasilitator bagi anak-anak perusahaan. Untuk itu program pengembangan eksekutif diselenggarakan sekaligus mengelompokkan para eksekutif itu dalam kategori A, B, dan C.
Para manajer kelas A mendapat coaching yang sistematik dari sang CEO: Teddy Rachmat sendiri. Selanjutnya sistem manajemen informasi juga dibangun sehingga kantor pusat dapat memperoleh informasi terkonsolidasi khususnya keuangan dan SDM. Sistem ini juga memungkinkan seluruh manajer Astra dapat berkomunikasi satu sama lain di seluruh Indonesia. Mamora yang banyak dibantu konsultan asing ini melanjutkan transformasi Astra menuju fase selanjutnya: Perusahaan kelas dunia! Memasuki paruh kedua dekade 90-an, Astra bertekad menjadi global player. “Untuk itu kompetensi SDM kelas dunia harus dibangun. SDM Astra harus berbasis pengetahuan. Kita harus bergerak ke arah human capital management.
Era buruh murah sudah usai. Untuk itu kita harus didukung dengan manajemen informasi yang andal serta penguasaan teknologi yang kuat. Selain itu jaringan global harus dibentuk sehingga sumber daya global dapat kita akses. Dan kita harus beraliansi dengan pemain-pemain global lainnya”, tegas Mamora selanjutnya. Dengan fondasi rapi berjenjang seperti di atas, tampaknya cuma langit yang menjadi batas pertumbuhan Astra saat itu. Namun krisis total 1997 membuat Astra bagai menunggangi roller coster bersama ribuan perusahaan lainnya.
Tetapi Astra toh akhirnya selamat sentosa seperti digambarkan Buttler di akhir bukunya. Intinya, apa yang dibangun Mamora bersama kawan-kawannya tidaklah sia-sia. Fundasi yang bagus tetaplah modal terpenting mengarungi cobaan yang bagaimana pun beratnya. Kualitas fondasi itu merupakan faktor menentukan untuk dapat dengan cepat bangun mengkonsolidasikan diri usai turbulensi krisis.
*** TRANSFORMASI Astra sendiri butuh waktu 15 tahun dengan menghabiskan jutaan dolar untuk biaya konsultan saja. Program itu intinya
(1) Proses transformasi secara berjenjang;
(2) Dimulai dengan pengembangan konsep dan sistem;
(3) Diikuti dengan pengembangan eksekutif;
(4) Diteruskan dengan formulasi visi-strategi-nilai;
(5) Dilanjutkan dengan mobilisasi organisasi secara heuristik.
Apakah proses transformasi serupa dapat diulangi lebih efektif dan efisien? Mamora menjawab ya dengan mantap.
Belajar dari pengalaman Astra, langkahnya dimodifikasi menjadi :
(1) Adakan mobilisasi organisasi secara top-down dengan panduan visi yang berwibawa;
(2) Selenggarakan retret eksekutif puncak untuk merumuskan dan mendalami visi-strategi-nilai;
(3) Jalankan transformasi dengan Tripple-W: Winning Concept, Winning Systems & Culture, Winning Team.
Dengan itu Mamora yakin waktunya pun bisa diringkas menjadi sekitar 5 tahun saja.
Apakah negeri ini juga dapat ditransformasikan menjadi Indonesia Baru dalam tempo 5 tahun? Charlo Mamora, sang arsitek transformasi Astra, tertawa sambil menerawang.
Friday, April 27, 2007
CHARLO MAMORA, SANG ARSITEK TRANSFORMASI ASTRA
Posted by DJODI ISMANTO at 27.4.07
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment