Myspace Backgrounds

Monday, April 30, 2007

Warung Pecal LELE


Siapa yang tidak pernah melihat warung tenda di Jakarta ini, hampir disetiap pelosok kita selalu melihat keberadaan mereka, saya dan ke dua anak saya sangat menyukai petualangan makan di warung - warung tenda, yang bertebaran di seluruh wilayah Jakarta ini jika sedang pulang kampung dari Medan. Namun dari sekian banyak tempat yang pernah saya datangi, , ada sebuah warung tenda langganan kami yang menjual pecel lele yang sangat mengesakan bagi saya, bukan hanya rasanya yang wueenak, tapi juga penjual nya yang sekaligus juga pemilik warung itu.


Sepasang suami istri yang berasal dari Madura, mencoba mengadu nasib ke Jakarta dengan berbekal uang seadanya. Sang isri yang selalu setia mendampingi suaminya berjualan pecel lele selama kurang lebih 10 tahun ini telah membuat warung tenda nya selalu penuh dengan pengunjung, bahkan pembeli harus rela antri mendapatkan tempat duduk. Hebatnya si ibu pemilik itu hampir hafal seluruh nama pengunjung yang datang, dia selalu menyambut dan menyapa setiap pembeli yang datang dengan sapaan nak , didepan nama pembeli pembeli nya dan dia selalu berkeliling ke pengunjung yang sedang makan, untuk menanyakan, mau tambah nak?Ada yang kurang nak? ungkapan ungkapan nya itu benar benar bagai sapaan seorang ibu.


Bahkan pegawai pegawainya selalu siap memenuhi kebutuhan para pembeli, sebelum mereka meminta nya, begitu melihat isi gelas kita berkurang , dengan sigap mereka langsung mengisikan nya kembali, tanpa kita harus meminta


Apa yang berbeda dari warung tenda itu ?


Bisa anda terka, Ibu penjual pecel lele itu sangat mengutamakan PELAYANAN . Walaupun dia tidak pernah mengenal ilmu apalagi mengikuti training training mengenai pelayanan prima, tapi ibu tersebut mampu menerapkan prinsip prinsip dalam memberikan Service Excellence kepada pengunjungnya.


Dia selalu menyapa dengan baik dengan menyebutkan nama pelanggannya , dia begitu mengenal pelanggan pelanggannya dengan baik, mengetahui kebiasaan kebiasaan pelanggannya, dan memberikan yang dibutuhkan pelanggannya tanpa harus diminta, bahkan setiap kita selesai makan dia tidak pernah lupa meminta umpan balik dari para pengunjungnya


Apa yang bisa kita petik dari kisah pemilik warung tenda itu ?


Pelayanan membuahkan Kesuksesan


Ibu pemilik warung ini rupanya sangat mengutamakan pelayanan dalam menjalankan usahanya, Kan pembeli itu raja, jadi saya harus melayani mereka dengan baik, walaupun saya cape atau lagi kesal, begitu katanya, saat saya mempunyai kesempatan untuk ngobrol dengan dia disela sela kesibukannya melayani pengunjung yang datang.


Yang membuat saya tercengang , berkat modal seadanya yang hanya sebesar Rp 150.000,- ketekunan, kegigihan, dan sangat mengutamakan pelayanan, kini dia memiliki asset yang tidak sedikit, bahkan bisa dikategorikan kedalam perusahaan golongan menengah. Mereka sekarang mampu memiliki 3 buah rumah mewah di Jakarta, 1 buah ruko yang nilainya lebih dari 1 M serta 2 buah di Lamongan desa darimana mereka berasal.


Benar benar suatu hasil yang patut diacungkan jempol, sebuah usaha informal, namun mampu menerapkan prinsip prinsip kepuasan pelanggan , dengan memberikan pelayanan dengan hati pemilik warung itu mampu mendulang sukses.


Cobalah kita amati disekeliling kita, begitu banyak bidang bisnis yang belum mampu mengutamakan kepuasan pelanggan, yang tidak menganggap bahwa pelanggan adalah asset bagi mereka, yang masih kurang menyadari bahwa tanpa pelanggan apapun jenis usaha yang dijalankan akan mati dengan sendirinya.

Power of NO


Waktu kecil mungkin Anda pernah menemani Ibu Anda ke pasar tradisional. Ingatkah Anda bagaimana Ibu-ibu kita jaman dulu menawar harga? Saya tahu, kalau Ibu-ibu jaman sekarang lebih sering berbelanja ke supermarket, yang harga nya tidak bisa ditawar.

Garis besarnya pasti sama: Pertama, tawar setengah harga atau bahkan kurang, kemudian penjual akan mengatakan "TIDAK", dan menawarkan harga sedikit di bawah harga awal, kemudian Ibu kita juga akan mengatakan "TIDAK" dan pura-pura pergi meninggalkan kios, dan lima langkah kemudian sang penjual akan memanggil dengan meneriakkan harga terakhir (biasanya sedikit di atas harga yg ditawar Ibu), baru Ibu kita berbalik untuk mengatakan "YA", mungkin karena hari mulai siang.

Kalau masih pagi, tawar2 an tadi bisa berlangsung lebih alot, berpindah dari kios ke kios. Anda mungkin berpikir bernegosiasi harga cara Ibu kita tadi kuno. Jangan salah, justru ditengah-tengah ratusan teori negosiasi modern, ternyata negosiasi a la Ibu-ibu di pasar tradisional tadi adalah yang paling efektif. Setidaknya demikian kata Jim Camp dalam buku nya "Start with NO".

Jim Camp menyarankan agar kita tidak terlena pada jargon "win/win" yang sering dikemukakan perusahaan besar sewaktu bernegosiasi dengan perusahaan yang lebih kecil. Kenyataannya, kesepakatan-kesepakatan yang dihasilkan dari pendekatan "win/win" tadi hanya bertujuan menguntungkan perusahaan besar. Disinilah perusahaan kecil harus waspada menghadapi permainan para "pemangsa" dari perusahaan yang lebih besar. Dan itu dapat dicapai dengan memulai dengan kata TIDAK. Seperti Ibu kita di pasar dulu.

Camp mengidentifikasikan dua kelemahan yang umumnya kita miliki sewaktu melakukan negosiasi:

Pertama: Anda terlalu membutuhkan. Ya, sadarkah Anda bahwa ketika melakukan negosiasi, seringkali kita kita datang dengan "mu-peng", muka-pengen. Saya juga sering begitu. Bahkan sewaktu berangkat sudah kepikiran: "udah deh, mau ditawar berapa aja gw iya – in". Bagaimana tidak, kontrak sudah terbayang-bayang, asik … rekening bakal nambah, bisa nutup operational cost sekian bulan, bisa beli ini-itu, wah … pokoknya harus saya yang dapet. Belum lagi ketakutan kalau ada kompetitor yang masuk. Kita tidak siap menerima kenyataan kalau kesepakatan akan batal.

Maka tidak jarang, ketika kita menyampaikan penawaran harga, dan calon klien kita setelah membacanya terlihat berkerut dan terbatuk2. Langsung saja kita berkata: "Mmm .. ngomong2 harga nya bisa di nego kok Pak …". Mungkin kliennya sampai heran sendiri, lho wong belum ditawar kok sudah mau nurunin harga? Menurut Jim Camp, dalam kondisi demikian Anda sudah menganggap kontrak yg ingin Anda dapatkan menjadi sebuah kebutuhan, bukan sekedar keinginan. Dan kalau sudah butuh, Anda siap berkorban apa saja. Mulai dari margin yang sangat tipis, hingga resources yg lebih banyak. Tidak jarang, setelah dihitung-hitung Anda bahkan sebenarnya rugi. Anda tentu tidak mau bernegosiasi untuk rugi. Jadi buang jauh2 "mu-peng" Anda. Gampangnya ingat saja Ibu Anda yg "pura-pura" tidak butuh dan meninggalkan kios waktu menawar.

Kedua: Anda terlalu "sempurna". Tahun 70-80 an, TVRI pernah memutar film detektif Mr. Columbo. Wah, mungkin Anda belum lahir, atau sudah tidak ingat. Jangan dibayangkan ini adalah detektif ganteng dan jagoan seperti tipikal film Hollywood. Mr. Columbo ini tidak gagah atau ganteng, justru dekil, naik mobil butut, memelas, dan sering lupa mengajukan pertanyaan kunci. Pokoknya "katro" habis. Namun berhadapan dengan orang dalam posisi "di bawah" seperti ini, orang merasa nyaman berbicara. Dan Mr. Columbo sangat gampang mendapat informasi. Dalam bisnis kita sering berusaha memberikan kesan hebat, sehingga berusaha tampil "hebat". Padahal orang cenderung merasa baik, justru ketika melihat orang lain kurang baik. Ini yang saya lupakan ketika mengawali bisnis saya.

Dulu, jika melakukan presentasi, saya dan tim saya selalu berjas-berdasi, mirip the Beatles mau manggung. Dan hasilnya nol besar. Kini kami tampil apa adanya, tanpa jas, tanpa dasi, tak jarang saya hanya memakai kemeja lengan pendek. Tentu tetap rapih dan wangi, karena sudah bawaan. Ternyata kami malah bisa membuat banyak deal. Mungkin, para pelanggan yang saya temui dulu tidak nyaman berbicara dengan "the Beatles.

Dengan memperbaiki dua kelemahan tadi, kini Anda siap menerapkan teknik negosiasi yang diawali dengan kata TIDAK. Kedengarannya memang kontroversial, namun sebenarnya logis. Bagi Jim Camp, negosiasi merupakan kesepakatan antara dua pihak, dimana masing-masing pihak memiliki hak veto - hak untuk berkata TIDAK.

Jadi justru kita harus berawal dari kata TIDAK, sebelum kemudian menggali hal-hal yang bisa disepakati. Memulai dengan TIDAK artinya kita berorientasi kepada keputusan. Yang justru akan membuat negosiator lawan Anda langsung berpikir pada pokok persoalan, bukan yang lain. Karena dorongan emosi dan kebutuhan, seringkali kita akan langsung berkata "YA" di depan. Sambil membayangkan keuntungan, komisi, atau BMW baru yang akan Anda beli. Dalam keadaan demikian, negosiator ulung di depan Anda akan langsung menyodorkan berbagai "JIKA … "yang akan segera membelenggu Anda. Memulai dengan TIDAK bukan untuk mengorbankan siapapun, termasuk lawan Anda, namun justru untuk mendapatkan keputusan yang logis.

Tentu bukan berarti setelah Anda berkata TIDAK, lantas berhenti. Semua negosiasi tentu ujungnya adalah kesepakatan kedua belah pihak. Langkah-langkah selengkapnya menurut Jim Camp cukup panjang, seperti: menetapkan tujuan; bagaimana menggali dan menggunakan "pain" lawan,; bernegosiasi dengan bujet waktu, tenaga, uang dan emosi; hanya bernegosiasi dengan orang yang berwenang; hingga bahaya melakukan presentasi (waduh, saya baru tahu!). Namun, saya ingin memberikan catatan pada beberapa poin yang menurut saya sangat menarik:

Ajukan Pertanyaan. Awal berbisnis dulu, (eh, sejujurnya bahkan mungkin sampai sekarang), saya sering mengira bahwa dalam negosiasi, kita harus dalam posisi dominan. Dan itu artinya mendominasi pembicaraan. Ternyata pengalaman mengajarkan sebaliknya. Justru dengan sedikit bicara dan banyak bertanya, maka Anda dalam posisi mengendalikan. Banyak teknik yang diajarkan Camp. Diantaranya adalah "mengasuh". Dimana kita mengajukan pertanyaan dengan sikap yang membuat lawan merasa nyaman, didengarkan dan dihormati. Anda harus menjadi Mr. Columbo yang mengumpulkan informasi sebanyak mungkin.Informasi tadi yang akan sangat penting untuk mendukung langkah2 Anda selanjutnya.

Netralkan Pikiran. Ini menurut saya yang paling sulit buat pemula. Dorongan untuk segera "closing the deal", bisa mengacaukan pikiran kita. Tiga pantangan agar memperoleh pikiran yang tenang dalam bernegosiasi adalah: Jangan ber-ekspektasi (berharap), Jangan ber-asumsi, Jangan bicara:

Terlalu berharap, baik harapan positif ataupun negatif, dapat berbahaya. Negosiator ulung pandai mengumbar harapan yang menjebak. Salah satu umpan yang klise adalah: "saya minta harga untuk pembelian dalam jumlah banyak". Dan ketika Anda setuju,sekaligus membuka kartu berapa harga ter-rendah Anda, mereka akan mengorder dalam jumlah kecil, dengan alasan bahwa pembelian akan dilakukan parsial. Dan ingat, kapanpun mereka dapat membatalkan kesepakatan. Saya pernah mengalami hal semacam ini, dan ternyata menurut Jim Camp, di Amerika juga sering terjadi hal yang sama. Ber-asumsi juga jelas berbahaya, karena asumsi adalah sekedar asumsi, lebih baik Anda lakukan verifikasi untuk memperoleh realitas yang sebenarnya. Sebaiknya kerjakan riset Anda.

Bagaimana dengan "jangan berbicara". Maksudnya adalah, Anda sebaiknya sesedikit mungkin berbicara, apalagi kalau Anda tidak tahu mau berbicara apa, lebih baik tidak berbicara. Saya jadi teringat salah satu bagian dari novel Godfather karya Mario Puzo. Sewaktu Don Corleone berunding dengan Virgil Sollozzo. Don didampingi putra tertuanya Sonny, dengan satu perintah tegas: jangan berbicara. Don yang sudah kenyang asam garam perundingan tahu, bahwa setiap kata yang keluar dari mulut Sonny dapat berbahaya. Dan betul saja, ketika Don secara tegas mengatakan TIDAK, atas usulan Sollozzo, dan Sollozo tengah mencerna ucapan Don, Sonny tidak tahan untuk mengucapkan komentar. Sebuah komentar tak perlu yang mengungkapkan fakta bagi Sollozzo, bahwa ada kemungkinan perbedaan pandangan antara Don dan anaknya. Bahwa keluarga Corleone mungkin tidak se-solid kelihatannya. Dan di kemudian hari, Sollozzo pun berani bertindak. Don Corleone ditembak.

Demikianlah kekuatan kata TIDAK, menurut Jim Camp. Cukup menarik untuk diaplikasikan. Yang jelas kata TIDAK, menyebabkan orang berpikir tentang poin apa yang menyebabkan dia ditolak. Saya ingin menutup catatan ini dengan sebuah cerita yang sangat relevan:

Ada seorang anggota US Marine (AL) yang bertugas untuk merekrut lulusan2 terbaik dari salah satu sekolah di Amerika. Anggota US Marine tadi mendapat giliran terakhir untuk melakukan presentasi, setelah anggota US Air Force (AU) dan US Army (AD). Ternyata dua presentasi sebelumnya telah menghabiskan sebagian besar waktu yg tersedia. Akhirnya sang perwira AL, yang tinggal memiliki waktu tidak lebih dari 5 menit tadi hanya mengatakan: "Maaf, Saya TIDAK melihat banyak kandidat yang bisa saya rekrut disini. Saya perhatikan paling banyak hanya 5 orang yang pantas menjadi anggota US Marine. Jika Anda merasa salah seorang diantaranya, hubungi saya setelah ini." Dan, sebagian besar siswa pun akhirnya melamar menjadi anggota US Marine!

Saturday, April 28, 2007

Doa Siapakah Yang Lebih Terkabul


Sebuah kapal karam di tengah laut karena terjangan badai dan ombak hebat. Hanya dua orang lelaki yang bisa menyelamatkan diri dan berenang ke sebuah pulau kecil yang gersang.

Dua orang yang selamat itu tak tahu apa yang harus dilakukan. Namun, mereka berdua yakin bahwa tidak ada yang dapat dilakukan kecuali berdoa kepada Tuhan. Untuk mengetahui doa siapakah yang paling dikabulkan, mereka sepakat untuk membagi pulau kecil itu menjadi dua wilayah. Dan mereka tinggal sendiri-sendiri berseberangan di sisi-sisi pulau tersebut.

Doa pertama yang mereka panjatkan. Mereka memohon agar diturunkan makanan. Esok harinya, lelaki ke satu melihat sebuah pohon penuh dengan buah-buahan tumbuh di sisi tempat tinggalnya. Sedangkan di daerah tempat tinggal lelaki yang lainnya tetap kosong.

Seminggu kemudian, lelaki yang ke satu merasa kesepian dan memutuskan untuk berdoa agar diberikan seorang istri. Keesokan harinya, ada kapal yang karam dan satu-satunya penumpang yang selamat adalah seorang wanita yang berenang dan terdampar di sisi tempat lelaki ke satu itu tinggal. Sedangkan di sisi tempat tinggal lelaki ke dua tetap saja tidak ada apa-apanya.

Segera saja, lelaki ke satu ini berdoa memohon rumah, pakaian, dan makanan. Keesokan harinya, seperti keajaiban saja, semua yang diminta hadir untuknya. Sedangkan lelaki yang kedua tetap saja tidak mendapatkan apa-apa.

Akhirnya, lelaki ke satu ini berdoa meminta kapal agar ia dan istrinya dapat meninggalkan pulau itu. Pagi harinya mereka menemukan sebuah kapal tertambat di sisi pantainya. Segera saja lelaki ke satu dan istrinya naik ke atas kapal dan siap-siap untuk berlayar meninggalkan pulau itu. Ia pun memutuskan untuk meninggalkan lelaki ke dua yang tinggal di sisi lain pulau. Menurutnya, memang lelaki kedua itu tidak pantas menerima pemberian Tuhan karena doa-doanya tak terkabulkan. Begitu kapal siap berangkat, lelaki ke satu ini mendengar suara dari langit menggema, "Hai, mengapa engkau meninggalkan rekanmu yang ada di sisi lain pulau ini?"

"Berkahku hanyalah milikku sendiri, karena hanya doakulah yang dikabulkan," jawab lelaki ke satu ini. "Doa lelaki temanku itu tak satupun dikabulkan. Maka, ia tak pantas mendapatkan apa-apa."

"Kau salah!" suara itu membentak membahana. "Tahukah kau bahwa rekanmu itu hanya memiliki satu doa. Dan, semua doanya terkabulkan. Bila tidak, maka kau takkan mendapatkan apa-apa."

"Katakan padaku," tanya lelaki ke satu itu. "Doa macam apa yang ia panjatkan sehingga aku harus merasa berhutang atas semua ini padanya?" "Ia berdoa agar semua doamu dikabulkan!"

Kesombongan macam apakah yang membuat kita menganggap bahwa hanya harapan dan doa-doa kita yang terkabulkan? Betapa banyak orang yang tidak mengorbankan sesuatu demi keberhasilan kita. Tak selayaknya kita mengabaikan peran orang lain.

(diadaptasi dari "Whose Prayer Was More Powerful?", unknown, coffeeintherain. com)

JEMBATAN MAAF


Alkisah ada dua orang kakak-beradik yang hidup di sebuah desa. Entah karena apa mereka jatuh ke dalam suatu pertengkaran serius. Dan ini adalah pertama kalinya mereka bertengkar sedemikian hebat.

Padahal selama 40 tahun mereka hidup rukun berdampingan, saling meminjamkan peralatan pertanian dan bahu-membahu dalam usaha perdagangan tanpa mengalami hambatan. Namun kerja-sama yang akrab itu kini retak.

Dimulai dari kesalah-pahaman yang sepele saja. Kemudian berubah menjadi perbedaan pendapat yang besar. Dan akhirnya meledak dalam bentuk caci-maki. Beberapa minggu sudah berlalu, mereka saling berdiam diri tak bertegur-sapa.

Suatu pagi, seseorang mengetuk rumah sang kakak. Di depan pintu berdiri seorang pria membawa kotak perkakas tukang kayu.


"Maaf Tuan, sebenarnya saya sedang mencari pekerjaan", kata pria itu dengan ramah. "Barangkali Tuan berkenan memberikan beberapa pekerjaan untuk saya selesaikan."

"Oh ya!" jawab sang kakak. "Saya punya sebuah pekerjaan untukmu. Kau lihat ladang pertanian di seberang sungai sana. Itu adalah rumah tetanggaku,. ..... ah sebetulnya ia adalah adikku. Minggu lalu ia mengeruk bendungan dengan buldozer lalu mengalirkan airnya ke tengah padang rumput itu sehingga menjadi sungai yang memisahkan tanah kami. Hmm, barangkali ia melakukan itu untuk mengejekku, tapi aku akan membalasnya lebih setimpal. Di situ ada gundukan kayu. Aku ingin kau membuat pagar setinggi 10 meter untukku sehingga aku tidak perlu lagi melihat rumahnya. Pokoknya, aku ingin melupakannya. "

Kata tukang kayu, "Saya mengerti. Belikan saya paku dan peralatan. Akan saya kerjakan sesuatu yang bisa membuat Tuan merasa senang."

Kemudian sang kakak pergi ke kota untuk berbelanja berbagai kebutuhan dan menyiapkannya untuk si tukang kayu. Setelah itu ia meninggalkan tukang kayu bekerja sendirian. Sepanjang hari tukang kayu bekerja keras, mengukur, menggergaji dan memaku.

Di sore hari, ketika sang kakak petani itu kembali, tukang kayu itu baru saja menyelesaikan pekerjaannya. Betapa terbelalaknya ia begitu melihat hasil pekerjaan tukang kayu itu. Sama sekali tidak ada pagar kayu sebagaimana yang dimintanya. Namun, yang ada adalah jembatan melintasi sungai yang menghubungkan ladang pertaniannya dengan ladang pertanian adiknya. Jembatan itu begitu indah dengan undak-undakan yang tertata rapi. Dari seberang sana, terlihat sang adik bergegas berjalan menaiki jembatan itu dengan kedua tangannya terbuka lebar.

"Kakakku, kau sungguh baik hati mau membuatkan jembatan ini. Padahal sikap dan ucapanku telah menyakiti hatimu. Maafkan aku", kata sang adik pada kakaknya.

Dua bersaudara itupun bertemu di tengah-tengah jembatan, saling berjabat tangan dan berpelukan. Melihat itu, tukang kayu pun membenahi perkakasnya dan bersiap-siap untuk pergi.

"Hai, jangan pergi dulu. Tinggallah beberapa hari lagi. Kami mempunyai banyak pekerjaan untukmu," pinta sang kakak.

"Sesungguhnya saya ingin sekali tinggal di sini", kata tukang kayu, "tapi masih banyak jembatan lain yang harus saya selesaikan."

Mengubah Pola Pikir


Sekelompok wisatawan tertahan di suatu tempat asing di luar kota. Mereka hanya menemukan bahan makanan yang kedaluwarsa. Karena lapar, mereka terpaksa

menyantapnya, meskipun sebelumnya dicobakan dulu kepada seekor anjing yang ternyata menikmatinya dan tak terlihat efek sampingnya.

Keesokan harinya, ketika mendengar anjing itu mati, semua orang menjadi cemas. Banyak yang mulai muntah dan mengeluh badannya panas atau terserang
diare. Seorang dokter dipanggil untuk merawat para penderita keracunan makanan. Kemudian sang dokter mulai mencari sebab-musabab kematian si anjing
yang dijadikan hewan percobaan tersebut. Ketika dilacak, eh ternyata anjing itu sudah mati karena terlindas mobil.

Apa yang menarik dari cerita di atas?

Ternyata kita bereaksi menurut apa yang kita pikirkan, bukan berdasarkan kenyataan itu sendiri. We see the world as we are, not as it is. Akar segala sesuatu
adalah cara kita melihat. Cara kita melihat mempengaruhi apa yang kita lakukan, dan apa yang kita lakukan mempengaruhi apa yang kita dapatkan.
Ini disebut sebagai model See-Do-Get.

Perubahan yang mendasar baru akan terjadi ketika ada perubahan cara melihat.

Ada cerita menarik mengenai sepasang suami-istri yang telah bercerai. Suatu hari, Astri, nama wanita ini, datang ke kantor Roy, mantan suaminya.
Saat itu Roy sedang melayani seorang pelanggan. Melihat Astri menunggu dengan gelisah, pimpinan kantor menghampirinya dan mengajaknya
berbincang-bincang. Si Bos berkata, "Saya begitu senang, suami Anda bekerja untuk saya. Dia seorang yang sangat berarti dalam perusahaan kami,
begitu penuh perhatian dan baik budinya."

Astri terperangah mendengar pujian si bos, tapi ia tak berkomentar apa-apa. Roy ternyata mendengar komentar si bos. Setelah Astri pergi, ia menjelaskan
kepada bosnya,
"Kami tak hidup bersama lagi sejak 6 bulan lalu, dan sekarang dia hanya datang menemui saya bila ia membutuhkan tambahan uang untuk putra kami."
Beberapa minggu kemudian telepon berbunyi untuk Roy. Ia mengangkatnya dan berkata, "Baiklah Ma, kita akan melihat rumah itu bersama setelah jam
kerja." Setelah itu ia menghampiri bosnya dan berkata, "Astri dan saya telah memutuskan memulai lagi perkawinan kami. Dia mulai melihat saya secara
berbeda, tak lama setelah Bapak berbicara padanya tempo hari."

Bayangkan, perubahan drastis terjadi semata-mata karena perubahan dalam cara melihat. Awalnya, Astri mungkin melihat suaminya sebagai seorang yang
menyebalkan, tapi ternyata di mata orang lain Roy sungguh menyenangkan. Astrilah yang mengajak rujuk, dan mereka kembali menikmati rumah tangga
yang jauh lebih indah dari sebelumnya.

Segala sesuatu yang kita lakukan berakar dari cara kita melihat masalah. Karena itu, bila ingin mengubah kehidupan kita, kita perlu melakukan revolusi cara berpikir.
Stephen Covey pernah mengatakan: "Kalau Anda menginginkan perubahan kecil dalam hidup, garaplah perilaku Anda, tapi bila Anda menginginkan
perubahan-perubahan yang besar dan mendasar, garaplah paradigma Anda."

Covey benar, perubahan tidak selalu dimulai dari cara kita melihat (See). Ia bisa juga dimulai dari perilaku kita (Do). Namun, efeknya sangat berbeda.

Ini contoh sederhana.
Seorang anak bernama Alisa yang berusia empat tahun selalu menolak kalau diberi minyak ikan. Padahal, itu diperlukan untuk meningkatkan perkembangan otak dan daya tahan tubuhnya. Betapapun dibujuk, ia tetap menolak. Dengan maksud baik, kadang-kadang ia dipaksa
menelan minyak ikan. Ia menangis dan meronta-ronta.
Usaha tersebut memang berhasil memaksanya, tapi ini bukan win-win solution. Si orangtua menang, ia kalah.
Ini pendekatan yang dimulai dengan Do.
Maka ditemukanlah cara lain yaitu dengan mengubah paradigma Alisa.
Si orangtua tahu Alisa sangat suka sirup, karena itu minyak ikan tersebut diaduk dengan air dalam gelas. Ternyata, ia sangat gembira dan menikmati "sirup"
minyak ikan itu. Bahkan, sekarang ia tak mau mandi sebelum minum "sirup" tersebut.

Contoh sederhana ini menggambarkan proses perubahan yang bersifat inside-out (dari dalam ke luar). Perubahan ini bersifat sukarela dan datang dari Alisa
sendiri. Jadi, tidak ada keterpaksaan.
Inilah perubahan yang diawali dengan See. Perubahan yang dimulai dengan Do, bersifat sebaliknya, yaitu outside-in. Perubahan seperti ini sering
disertai penolakan. Jangankan dengan bawahan, dengan anak kecil seperti Alisa saja, hal ini sudah bermasalah.

Pendekatan hukum bersifat outside-in dan dimulai dengan Do. Orang tidak korupsi karena takut akan hukumannya, bukan karena kesadaran. Pada dasarnya
orang tersebut belum berubah, karena itu ia masih mencari celah-celah yang dapat dimanfaatkannya.

Pendekatan SDM berusaha mengubah cara berpikir orang.
Akar Korupsi sebenarnya adalah pada cara orang melihat. Selama jabatan dilihat sebagai
kesempatan menumpuk kekayaan, bukannya sebagai amanah yang harus dipertanggungjawabkan, selama itu pula korupsi tak akan pernah hilang.
Inilah pendekatan inside-out. Memang jauh lebih sulit, tetapi efek yang dihasilkannya jauh lebih mendasar. Cara kita melihat masalah sesungguhnya adalah masalah itu sendiri.

Karena itu, untuk mengubah kehidupan, yang perlu Anda lakukan cuma satu: "Ubahlah cara Anda melihat masalah".
Mulailah melihat atasan yang otoriter, bawahan yang tak kooperatif, pelanggan yang cerewet dan pasangan yang mau menang sendiri sebagai tantangan
dan rahmat yang terselubung. Orang-orang ini sangat berjasa bagi Anda karena dapat membuat Anda lebih kompeten, lebih profesional, lebih arif dan lebih sabar.

John Gray
, pengarang buku Men Are from Mars and Women Are from Venus, melihat masalah dan kesulitan dengan cara yang berbeda. Ujarnya,
"Semua kesulitan sesungguhnya merupakan kesempatan bagi jiwa kita untuk tumbuh."
Regards, From nice city of Medan

Friday, April 27, 2007

CHARLO MAMORA, SANG ARSITEK TRANSFORMASI ASTRA



GELOMBANG perubahan bergejolak yang melanda Indonesia sejak 1997 sudah menelan 4 rezim berturut-turut: Soeharto, Habibie, Gus Dur, dan Megawati. Di tingkat korporat, gelombang yang sama menggulung pula ratusan perusahaan, bank, dan grup konglomerat. Tokoh-tokoh bisnis zaman itu -– dulu wajah-wacana mereka mendominasi media massa -– kini lenyap bagaikan sekam terempas puting beliung ke rawa kumuh.

Sungguh, suatu pagelaran change management yang gagal total. Sebuah tragedi nasional yang mesti jadi pelajaran berharga bagi siapa pun yang bertelinga. Di antara sedikit grup usaha besar yang selamat, meskipun sempat babak belur, ialah PT Astra International yang didirikan William Soeryadjaya tahun 1957.
Meskipun Om Willem tidak lagi di Astra saat krisis itu, tetapi generasi penerusnya, Teddy Rachmat dan Rini Soewandi, berhasil mendayung biduk Astra berselancar mengarungi badai. Kegagalan dapat dijelaskan. Begitu pula keberhasilan.
Yang terakhir ini dikisahkan Charlotte Buttler dalam Dare To Do: The Story of William Soeryadjaya and PT Astra International (2002).
Buttler menutup bukunya dengan kalimat begini, “
The group that William had created looked indestructible. It had not just survived, but looked set to flourish once more.

Sebelum krisis, Astra dikenal sebagai grup paling kredibel di Indonesia, dan pasca krisis, predikat itu direbutnya kembali. Teddy Rachmat, CEO Astra 1984-2002 – diinterupsi sebentar oleh Rini Soewandi tahun 1998 – dikenal luas sebagai pemimpin terpuji yang menakhodai kapal Astra. Namun ada seorang tokoh yang nyaris tak pernah disebut media massa Indonesia di balik kelenturan Astra berselancar itu.

Dialah sang arsitek transformasi Astra: Charlo Mamora.

*** SIAPAKAH Charlo Mamora? Teddy Rachmat menjulukinya “Arsitek Astra”.
Rachmat -– delapan belas tahun didampingi Mamora hingga pensiun -– lebih tajam mengkristalkan peranan pria kelahiran Sibolga, Sumatera Utara, itu sebagai The Architect of Astra Human Capital Management and Management System Practices.

Dia ini mitra saya mengubah desain Astra menjadi kenyataan,” tegas Rachmat lebih lanjut. Di banyak halaman Dare To Do, Buttler menjelaskan lebih detail peranan instrumental dan strategis yang dimainkan Mamora bersama raksasa-raksasa Astra lainya seperti Budi Setiadharma, Michael Ruslim, Rudyanto Hardjanto, Benny Subianto, Hagianto Kumala, dan lain-lain. Sebagai eksekutif ex-IBM, Mamora begabung dengan Astra di akhir dekade 70-an.

Tipikal eksekutif muda masa itu yang merasa karirnya sudah mentok di perusahaan multinasional, Mamora ikut merasa terpanggil membesarkan perusahaan lokal yang haus sumbangan profesionalisme dari putra-putri Indonesia yang beruntung mengecap kultur itu. Di barisan ini, satu dekade kemudian, Rini Soewandi, bankir ex-Citibank, juga ikut bergabung. Pasca Astra kelak, Rini bahkan melejit menjadi Menperindag dalam Kabinet Megawati. Pada permulaan dekade 80-an, Astra bertekad menjadi perusahaan profesional. Ketika Rachmat kemudian menjadi CEO, ia segera menerapkan Total Quality Management secara besar-besaran.

Bersama Mamora sistem manajemen Jepang ini mereka adaptasi menjadi Astra Total Quality Management. Program ini pun menuai sukses. Inilah permulaan era pertumbuhan cepat Astra menjadi grup usaha besar dan profesional. Fase pertumbuhan cepat ini mengalami berbagai desakan sentrifugal yang bersifat memecah. Untuk mencegahnya, dibutuhkan kekuatan penahan yaitu budaya perusahaan (corporate culture). Pada tahun 1984, Mamora -– sarjana ilmu pasti dari Sanata Dharma, Yogyakarta, yang saat itu menjabat Kepala Divisi Pengembangan SDM merangkap Kepala Divisi Pengembangan Manajemen -– diserahi tugas memimpin pengembangan dan implementasi corporate culture Astra. Inilah yang kemudian dikenal sebagai Catur Dharma Astra yaitu

(1) Respek pada individu dan kerjasama;
(2) Berjuang meraih keunggulan;
(3) Pelayanan terbaik bagi pelanggan; dan
(4) Menjadi aset bagi bangsa.

Sejak itu pula tugas Mamora bersifat sangat strategis: Mentransformasikan Astra menjadi perusahaan unggul. Misinya saat itu dikalimatkan sebagai “To bring Astra to excellence”. Dalam kurun 1983-1987, Mamora menangani berbagai inisiatif strategis. Dalam rangka transformasi itu sejumlah sistem dan konsep dikembangkannya menjadi praktik standar di seluruh grup Astra. Bahasa manajemen Astra disatukannya. Rule of the game anggota Astra dirumuskannya. Ia juga membangun infrastruktur informasi untuk membantu para eksekutif Astra mencapai excellence.

Di bawah kepemimpinan Mamora, tiga fungsi strategis dalam setiap transformasi: Pengembangan SDM, Pengembangan Manajemen, dan Sistem Informasi Manajemen dikendalikannya secara simultan. “Efek sampingnya, ada yang menuduh saya membangun kerajaan sendiri”, kenang Mamora tersenyum. Syukur, program yang dievaluasi oleh INSEAD Prancis ini dinyatakan sebagai sukses.

Tahun 1988, Mamora mencanangkan Man Management Astra sebagai fase kedua menuju excellence. Melalui pelatihan yang masif, program ini membentuk gaya manajemen Astra yang dicirikan oleh kepedulian yang seimbang pada pengembangan SDM dan kinerja bisnis. Dalam empat tahun pertama sebanyak 1.500 manajer Astra sudah mengikuti program ini.

Serentak dengan itu Mamora juga terlibat dalam pengembangan Astra VSCL (Vision, Strategy, Culture, and Leadership). “Saya yakin jika kami mempunyai VSCL yang benar maka excellence akan mengikuti Astra”, tegasnya. Fase berikutnya, Mamora menata kantor pusat Astra. Peran kantor pusat dirumuskannya sebagai fasilitator bagi anak-anak perusahaan. Untuk itu program pengembangan eksekutif diselenggarakan sekaligus mengelompokkan para eksekutif itu dalam kategori A, B, dan C.

Para manajer kelas A mendapat coaching yang sistematik dari sang CEO: Teddy Rachmat sendiri. Selanjutnya sistem manajemen informasi juga dibangun sehingga kantor pusat dapat memperoleh informasi terkonsolidasi khususnya keuangan dan SDM. Sistem ini juga memungkinkan seluruh manajer Astra dapat berkomunikasi satu sama lain di seluruh Indonesia. Mamora yang banyak dibantu konsultan asing ini melanjutkan transformasi Astra menuju fase selanjutnya: Perusahaan kelas dunia! Memasuki paruh kedua dekade 90-an, Astra bertekad menjadi global player. “Untuk itu kompetensi SDM kelas dunia harus dibangun. SDM Astra harus berbasis pengetahuan. Kita harus bergerak ke arah human capital management.

Era buruh murah sudah usai. Untuk itu kita harus didukung dengan manajemen informasi yang andal serta penguasaan teknologi yang kuat. Selain itu jaringan global harus dibentuk sehingga sumber daya global dapat kita akses. Dan kita harus beraliansi dengan pemain-pemain global lainnya”, tegas Mamora selanjutnya. Dengan fondasi rapi berjenjang seperti di atas, tampaknya cuma langit yang menjadi batas pertumbuhan Astra saat itu. Namun krisis total 1997 membuat Astra bagai menunggangi roller coster bersama ribuan perusahaan lainnya.

Tetapi Astra toh akhirnya selamat sentosa seperti digambarkan Buttler di akhir bukunya. Intinya, apa yang dibangun Mamora bersama kawan-kawannya tidaklah sia-sia. Fundasi yang bagus tetaplah modal terpenting mengarungi cobaan yang bagaimana pun beratnya. Kualitas fondasi itu merupakan faktor menentukan untuk dapat dengan cepat bangun mengkonsolidasikan diri usai turbulensi krisis.

*** TRANSFORMASI Astra sendiri butuh waktu 15 tahun dengan menghabiskan jutaan dolar untuk biaya konsultan saja. Program itu intinya

(1) Proses transformasi secara berjenjang;
(2) Dimulai dengan pengembangan konsep dan sistem;
(3) Diikuti dengan pengembangan eksekutif;
(4) Diteruskan dengan formulasi visi-strategi-nilai;
(5) Dilanjutkan dengan mobilisasi organisasi secara heuristik.

Apakah proses transformasi serupa dapat diulangi lebih efektif dan efisien? Mamora menjawab ya dengan mantap.

Belajar dari pengalaman Astra, langkahnya dimodifikasi menjadi :

(1) Adakan mobilisasi organisasi secara top-down dengan panduan visi yang berwibawa;
(2) Selenggarakan retret eksekutif puncak untuk merumuskan dan mendalami visi-strategi-nilai;
(3) Jalankan transformasi dengan Tripple-W: Winning Concept, Winning Systems & Culture, Winning Team.

Dengan itu Mamora yakin waktunya pun bisa diringkas menjadi sekitar 5 tahun saja.

Apakah negeri ini juga dapat ditransformasikan menjadi Indonesia Baru dalam tempo 5 tahun? Charlo Mamora, sang arsitek transformasi Astra, tertawa sambil menerawang.

STOP


Sepanjang kita hidup ini, banyaklah sudah kita melakukan kesalahan. Mungkin sekali bisa tidak terjadi kesalahan kalau saja kita bisa melakukan tindakan yang tepat pada waktunya. Tindakan apakah yang bisa mencegah kesalahan ??

Satu kata saja: berhenti atau stop. Contohnya:


*Anda menjadi seorang penjudi dan menyesalinya, itu karena anda tidak sanggup menghentikannya. Menghentikan keinginan berjudi, yaitu Stop.

*Anda masuk dunia politik, dan anda terlibat kompromi-kompromi politik yang anda rasa tidak sepatutnya diteruskan. Tetapi anda tidak berani menghindar hanya karena anda mungkin sekali akan merasa malu terhadap para pelaku politik yang lain, yang rekan-rekan anda selama ini. Merasa akan hancur karir didunia dan itu akan menjadi akir dari kehidupan anda. Pada titik ini seharusnya anda berani mengambil keputusan untuk berhenti, untuk STOP.

Tetapi ternyata tidak anda lakukan. Anda menjadi
orang yang menyesali momen ini, yaitu: tidak berani mengambil keputusan. Anda menanggung beban perasaan dan kehidupan yang menekan.

*Anda menjadi pengusaha dan baru setelah cukup lama menunda, waktu utang
kepada Bank sudah menggunung, ingin banting setir menjadi pegawai saja yang bergaji berkala. Lakukanlah. Jangan terlalu ragu.
Tidak akan ada
orang yang bisa menolong anda, kecuali anda sendiri. Bukan istri anda, bukan pastor atau kyai atau sahabat sekalipun, bahkan ayah dan ibu kandung. Semua tergantung kepada anda seratus persen. Tergantung terutama kepada keputusan anda untuk berhenti. Berhenti menjadi pengusaha dan mengakui anda tidak berbakat. Itu membutuhkan ketenangan bertindak dan ketabahan hati. Pertimbangan yang akan menolong adalah pertanyaan: apakah saya akan meninggal dunia karena berhenti menjadi pengusaha ?? Tidak, kan ?? Nah, secepatnya ambil keputusan besar: STOP.

Pertanyaan jitu ini harus sering kita lakukan dalam kehidupan: Apakah saya akan mati kalau melakukan itu ?? Risiko mati adalah risiko tertinggi dalam kehidupan. Tidak ada yang lebih tinggi dari mati. Saya sering mengulang risiko-risiko yang mungkin terjadi untuk sesuatu bagian dari kehidupan, misalnya

Kalau bekerja menjadi pegawai: dipecat Kalau menikah : bercerai hidup atau bercerai mati

Kalau pergi perang: luka badan dan/atau mati


Kalau mencuri : dihukum


Bersifat jujur : hidup tenang dihari tua (ini juga risiko)


Bergaul baik : banyak kenalan yang positip

Saya sendiri telah banyak melakukan STOP yang dapat saya ceritakan
sebagai berikut ini.
Pada tahun 1970 saya minta berhenti dari pekerjaan saya sebagai Kepala
Biro Teknik dan Produksi di Perusahaan Negara Perkapalan "Alir Menjaya". Masalahnya gaji kecil dan kebutuhan meningkat dan saya harus melakukan korupsi karenanya, yang amat mungkin sekali bisa saya lakukan, kalau mau. Saya tidak mau korupsi dalam membiayai hidup saya.
Saya harus berhenti: STOP!!

Karena saya mempunyai status sebagai Pegawai
Negeri, saya juga mengajukan permohonan berhenti kepada pimpinan saya yaitu Direktur Jenderal Produksi Maritim, Departemen Perindustrian Maritim. Proses berjalan sulit dan alot.
Dua tahun lamanya saya tidak
mendapat jawaban tetapi saya sudah mendapat Surat keputusan Berhenti dari Pimpinan PN Alir Mendjaya.
Saya sudah tidak mau masuk kerja dan
mencari nafkah sebagai salesman door to door menjual encyclopaedia Britannica, Time Life, Americana dan lain-lain. Padahal saya tahu gaji saya tetap dibayarkan dan diambil, entah oleh siapa, karena saya memang tidak mau mengambilnya sebagai konsekuensi undur diri yang telah saya sampaikan, jadi tidak mau makan gaji buta.

Demikian juga dengan
pembagian beras. Sampai pada suatu saat ada Pendaftaran Ulang Pegawai Negeri. Saya tidak mendaftar ulang dan meskipun didesak oleh rekan-rekan, saya tetap berhenti. Untuk menjadi lepas bebas sebagai pegawai negeri ini saya peringati dengan melakukan pesta kecil makan sate kambing bersama beberapa orang teman. Waktu itu saya berumur tiga puluh tiga tahun dan sampai hari ini, umur enam puluh sembilan tahun saya tidak merasakan penyesalan apapun biar sedikit. Saya bersyukur sekali, karena kalau saya tetap berkedudukan dan berstatus sebagai Pegawai Negeri, mungkin saya akan bisa menjabat jabatan tinggi yang lumayan, tetapi – ini bukan prejudice – mungkin juga saya tidak bisa tidur senyenyak sekarang.

Alhamdulillah.
Pada hari tua saya ketika mecapai umur lima puluh enam usaha saya menaik tajam menjadi amat baik. Pekerjaan cukup berat dan memakan pikiran yang lumayan ruwet, karena banyak hal harus ditanggulangi dengan piawai. Menghadapi pejabat, partner asing dalam permodalan dan teknologi usaha, menggerogoti mental dan physic saya. Meskipun gaji saya mendekati sekian ribu Dollar AS sebulan, saya merasa letih, fatigue yang berkepanjangan. Yang bekerja didalam lingkungan usaha saya ada karyawan pokok sebanyak lima puluhan orang dan karyawan lapangan yang jumlahnya bisa mencapai pada suatu saat lima ratusan orang. Pada umur lima puluh delapan mendekati lima puluh sembilan, saya mengambil keputusan sendiri, tanpa dibantu oleh siapapun, berhenti sama sekali dari pekerjaan ini nanti, kalau saya mencapai umur enam puluh tahun. Yang melihat berkibarya karir saya, mendengar keputusan ini selain kaget, mereka menduga macam-macam, dan dugaan orang siapa tahu ?? Yang benar adalah keputusan untuk berhenti itu murni dari diri saya sendiri. Mengapa?

Karena faktor kemungkinan saya bisa menderita penyakit-penyakit yang tidak dikehendaki pada hari tua. Berhenti pada umur enampuluh tahun. Berhenti bekerja, berarti memasuki dunia lain. Saya lebih jadi lebih mengetahui soal rumah tangga, soal anak-anak menjadi dewasa dan bekerja mencari nafkah, menikah dan membentuk keluarga. Meskipun saya berusaha tidak terlibat sebanyak mungkin tetapi dalam hal ini, saya tidak boleh semena-mena menuruti kemauan saya sendiri dalam berkeluarga yang jumlahnya makin besar. Ya, keluarga saya menjadi besar. Menjadi besar karena kedatangan menantu, kedatangan keluarganya menantu yakni besan dan besan. Rasanya berbondong-bondong, susah mengingat satu per satunya.
Saya bertambah umur dan saya menjadi pelupa pada beberapa
hal.
Hubungan kekeluargaan yang meluas membutuhkan memori lebih baik,
tetapi kemampuannya berkurang agak deras juga. Pada umumnya kesehatan saya amat baik dan demikian juga daya ingat global, akan tetapi mengenai seluk-beluk hubungan famili, susah saya mengingatnya. Sering lupa dan bertanya kepada istri saya sampai satu kali, dua kali dan tiga kali. Bisa juga masih akan tanya lagi nanti. Saya mulai rajin menurunkan berat badan (ini sikap untuk STOP jadi gemuk) dan secara berangsur-angsur berat badan saya bisa turun dalam dua tahun sebanyak duabelas kilogram.

Olah raga jalan kaki dan mengurangi konsumsi makan nasi.
Sekitar umur saya mencapai enam puluh empat tahun saya mengambil keputusan besar lain. Saya ingin beremigrasi kenegara lain: Kanada.
Saya ingin STOP menjadi
penduduk di wilayah Republik Indonesia. Banyak orang menyoalkan masalahnya dari segala macam sudut pandang. Saya menjawabnya dengan setengah bergurau. Kadang-kadang saya jawab saya ingin hidup dilingkungan taat hukum, dan kadang-kadang saya jawab saya ingin menyeberang jalan sesuai dengan tempat yang disediakan. Jawaban apa saja karena saya tahu masih ada kendala yang orang lain tidak merasakan, yaitu: kemungkinan saya tidak mendapatkan visa Kanada untuk bertempat tinggal, yaitu ditolak oleh pihak Immigrasi.

Proses ini telah diberitahukan kepada saya oleh Kantor Visa di Canadian
High Commission di Singapura, yang melakukan prosesnya, akan memakan waktu selama tiga tahun lamanya. Kurang lebih enambulan sebelum visa diterbitkan saya dan istri diberitahu agar memeriksakan kesehatan lebih teliti. Berdebar-debar dan gelisah juga, meskipun saya berlaku tenang, setenang-tenangnya! Kami berdua dinyatakan sehat prima. Akhirnya kami memperoleh visa enam bulan yang dicap diatas paspor, sejak akhir Januari 2006 untuk mendapatkan status sebagai Landed Immigrant.

Akhirnya kami berhasil mendarat di Pearson Airport Toronto pada tanggal
11 Juli 2006. Masih ada satu keputusan besar yang orang lain tidak tahu, tetapi sungguh menggelisahkan hati saya. Saya harus menghentikan / STOP kebiasaan menghisap cerutu yang sudah saya lakukan selama lima belas tahunan. Sekitar enam sampai tujuh batang sehari. Masalahnya di Ontario sudah dibuat rencana undang-undang Free Smoke Ontario Act.
Saya telah
berhasil menghentikannya/ STOP menghisap cerutu, pada tanggal 1 Juni 2006, sebelum berangkat ke Toronto. Ternyata Free Smoke Ontario ini berlaku pada awal Juni 2006 hanya beda beberapa hari setelah saya berhenti mencerutu. Kisah ini sudah saya tuliskan dengan judul CIGAR / CERUTU. Begitulah saya resmi menjadi pengangguran dalam tanda kutip; memulai kehidupan sebagai orang tua yang harus amat sadar terhadap kesehatan dan relaksasi, baik badan maupun mental.

Saya menulis, dan belajar dengan mengikuti kelas Creative Writing,
Memoir dan sekarang Stock Market serta tidak pernah berhenti untuk mengamati sekeliling. Terus menulis, hampir setiap hari. Menjalin hubungan melalui intenet dengan teman-teman sejagad, di Tanah Air, di Amerika, Eropa dan Kanada. Ternyata saya menyukai cara hidup saya ini. Dan inilah keputusan saya yang ternyata mendapat hambatan juga. Latar belakangnya adalah: Sebenarnya sudah lama saya mempraktekkannya, sejak saya mempunyai menantu pertama kali. Bahkan kalau mau jujur, sejak anak saya mendapatkan pasangannya untuk menjadi calon jodohnya.
Apa sih yang saya praktekkan? Keputusan saya adalah tidak mencampuri keputusan mereka untuk:

1. Keputusan mereka mengambil jurusan ilmu yang dituntutnya di
perguruan Tinggi

2. Keputusan mereka memilih jodoh


3. Keputusan mereka untuk kemana melamar pekerjaan


4. Keputusan mereka dalam mengurus anak (cucu kami) yang saya anggap urusan domestik rumah tangga anak kami masing-masing

Keputusan nomor satu sampai dengan tiga hampir tidak ada masalah, karena istri saya berpendapat sama. Tetapi keputusan saya untuk nomor terakhir tidak selalu mendapat dukungan dari istri saya. Sejak bulan pertama berada di Toronto, istri saya amat merasa kehilangan, karena semua cucu berada di Jakarta.

Kerinduannya kepada mereka serasa tidak tertahankan.
Sedangkan kita sudah pernah memutuskan untuk memelihara status kita sebagai immigran di Kanada dengan baik. Itu berati harus menjaga jumlah tahun kita tinggal di Kanada dalam lima tahun, sehingga pada waktu memperpanjang (nanti di kemudian hari) masa berlakunya (lima tahun) Permanent Resident Card, tidak meragukan pihak Immigrasi Kanada mengenai perpanjangan status immigrasinya.

Sementara
istri saya ingin pulang menengok cucu, saya ingin tetap tinggal paling tidak selama dua tahun, tanpa pulang. Hampir setiap masalah yang berkaitan dengan hal ini muncul, terjadilah kegelisahan dihati kami berdua.

Hari Sabtu tanggal 14 April siang, secara tidak sengaja saya harus
bertemu dengan seorang kenalan yang sudah berumur sekitar tujuhpuluh empat tahunan. Dalam percakapan itu dia mengungkapkan: "Wah tadi pagi saya dapat email dari anak saya dan saya dimarahi !!" katanya. Dia menceritakan bahwa anaknya mengatakan agar dia berhenti menjadi orang tua (parent) dan jangan mengganggu lebih lanjut dan lebih jauh. Saya terkejut mendengar dia mengatakannya, menirukan kata-kata anaknya, seperti berikut: "Stop being a parent and leave me alone" Didalam kalimat ini ada kata STOP.

Saya tahu anak-anak saya tidak akan menggunakan kata-kata itu kepada
saya maupun istri saya, kalau saja kami berbuat yang sama. Meskipun demikian saya kira saya tidak akan mudah untuk menerima dengan besar hati, kalau sampai menerima perlakuan dan kata-kata seperti yang dialami kenalan saya itu.

Memang STOP dimana perlu, terbukti bukan hal yang amat mudah. Baik untuk
dikatakan maupun ditindakkan.

STOP. STOP . STOP.


Created by Anwari Doel Arnowo

Thursday, April 26, 2007

Gratis Sepanjang Masa


Pada suatu sore, seorang anak menghampiri ibunya di dapur, yang sedang menyiapkan makan malam, dan ia menyerahkan selembar kertas yang selesai ditulisinya. Setelah ibunya mengeringkan tangannya dengan celemek, ia membacanya dan inilah tulisan si anak:
= Untuk memotong rumput minggu ini Rp. 7 500,00
= Untuk membersihkan kamar minggu ini Rp. 5 000,00
= Untuk pergi ke toko menggantikan nama Rp. 10 000,00
= Untuk menjaga adik waktu mama belanja Rp. 15 000,00
= Untuk membuang sampah setiap hari Rp. 5 000,00
= Untuk rapor yang bagus Rp. 25 000,00
= Untuk membersihkan dan menyapu halaman Rp. 12 500,00
------------ --------- --------- --------- --------- --------- --------- -------
Jumlah utang Rp. 80.000,00
Si ibu memandang anaknya yang berdiri di situ dengan penuh harap, dan berbagai kenangan terlintas dalam pikiran ibu itu. Kemudian ia mengambil bolpen, membalikkan kertasnya, dan menulis:
  • Untuk sembilan bulan ketika mama mengandung kamu selama kamu tumbuh dalam perut mama, Gratis.
  • Untuk semua malam ketika mama menemani kamu, mengobati kamu, dan mendoakan kamu, Gratis.
  • Untuk semua saat susah, dan semua air mata yang kamu sebabkan selama ini, Gratis.
  • Untuk semua malam yang dipenuhi rasa takut dan untuk rasa cemas di waktu yang akan datang, Gratis.
  • Untuk mainan, makanan, baju, dan juga menyeka hidungmu, Gratis,
Anakku. Dan kalau kamu menjumlahkan semuanya, harga cinta sejati mama adalah GRATIS.
Setelah selesai membaca apa yang ditulis ibunya, ia menatap wajah ibunya dan berkata: 'Ma, aku sayang sekali pada Mama'.
Dan kemudian ia mengambil bolpen dan menulis dengan huruf besar-besar: "LUNAS".
* Note :
Dear friends.....telpon mama mu sekarang dan bilang sama mama betapa kalian sangat menyayanginya

Wednesday, April 25, 2007

KUMIS NASRUDIN


Tersebutlah seorang pria bernama Nasrudin. Ia bersahabat karib dengan raja. Suatu hari dengan tergopoh-gopoh Nasrudin berlari ke istana menjumpai sahabatnya. Sesampainya di sana, dengan napas tersengal-sengal ia melapor, “Celaka Baginda ... celaka... celaka...”

“Ada apa Nasrudin, pagi-pagi kok sudah panik? Kenapa wajahmu pias begitu, seolah dunia mau kiamat?”

“Yah, memang dunia mau kiamat, Baginda. Tuhan sedang murka kepada dunia, Tuhan akan membinasakan kita semua!”

“Lho, kok berkesimpulan begitu?” tanya raja.

“Baginda, begitu bangun dari tidur, aku merasa dunia sangat bau. Di mana-mana tercium bau busuk. Di kamar, bau. Kudekati istriku, bau juga. Di kamar tamu, sama saja, semua bau. Aku keluar rumah, ternyata sekelilingku juga bau. Pohon-pohon bau, rumput bau, pagar bau, tetangga bau, semua membusuk. Celaka baginda, Tuhan mulai menghukum dunia, semua akan kiamat!”

“Hmm … tenang Nasrudin, tenang. Tarik nafasmu baik-baik. Minum dulu,” raja menghibur seraya mengangsurkan segelas air.

Sesudah Nasrudin agak tenang, raja berkata lagi, “Sekarang, pergilah ke kamar mandi dan bersihkan dirimu. Dan yang terpenting, bilas kumismu yang lebat itu!”

Nasrudin pun menuju kamar mandi. Seluruh kepala dan wajahnya dia bilas dengan sabun wangi. Dan aneh bin ajaib, tak ada lagi bau busuk. Dia bingung, semuanya normal kembali. Bahkan, yang tercium sekarang cuma semerbak wangi.

Nasrudin kembali menghadap raja, “Baginda, ini tak masuk akal, ke mana bau busuk tadi?”

Raja tertawa terpingkal-pingkal. “Ha ha ha … Nasrudin ... Nasrudin ...., sebenarnya tidak ada yang bau. Bau busuk yang kamu cium sejak subuh tadi sebenarnya berasal dari kumismu. Coba ceritakan, semalam kamu tidur di mana, tidur dengan siapa, sehingga kumismu bau begitu?”

Terperanjat, perlahan-lahan Nasrudin mulai ingat kejadian semalam. Ketika hampir nyenyak, entah bagaimana asal mulanya, anak bungsunya yang berumur sekitar 3 tahun memegang kotorannya sendiri, lalu memoles-moleskannya ke kumis sang ayah. Itulah biang bau yang membuat Nasrudin sangat panik.

Demikianlah Nasrudin kembali ke rumahnya dan yakin bahwa dunia tidak sebusuk yang dia bayangkan.

* * *

Dear friends, kita sering melihat dunia ini kotor dan jorok, mencium negeri ini busuk dan tengik, atau merasa bangsa ini kumuh dan kacau. Mungkin itu benar, tapi mungkin juga tidak. Bisa jadi perasaan, penglihatan, dan penciuman semacam itu cuma disebabkan ‘kumis’ kita cemar.

Karena itu hendaklah kita rutin membersihkan kumis sendiri. Itu berarti kita harus membebaskan diri, hati, dan pikiran kita dari prasangka-prasangka negatif, konsep-konsep yang belum tentu benar, teori-teori yang belum terbukti, atau kabar-kabar kabur sebelum kita menilai dan menghakimi sesama, orang lain, dan dunia ini.

SAHABAT KETIGA


"Dalam hidup kita harus saling memegang amanah, berlaku benar dan tidak mengelak tanggung jawab."

Dua orang sahabat bak pinang dibelah dua, tak terpisahkan! Mereka berkawan sejak kecil dan saling menaruh percaya. Seorang adalah pedagang, dan seorang lain bendahara kerajaan. Namun, pergolakan politik membuat kerajaan pecah. Disintegrasi membuat kedua sahabat itu terpisah di dua negeri yang berbeda.
Setelah dua tahun lewat, si pedagang ingin mengunjungi sahabatnya. Lalu ia pergi ke negeri seberang, tempat sahabatnya menetap.

Ketika si pedagang tengah berjalan-jalan di tengah kota, raja segera diberi tahu, “Raja ada seorang mata-mata lalu-lalang di negeri kita!” Tampak sigap, sang raja memerintahkan menangkap si pedagang.
“Hai, kamu mata-mata, apa yang kamu cari di negeriku?” raja mulai mengintrogasi si pedagang. “Hamba hanya pedagang yang ingin mengunjungi seorang sahabat di negeri ini,” jelas si pedagang. Alasan itu diacuhkan dan kecurigaan sang raja jauh lebih berkuasa.

Dalam persidangan yang serba kilat, hukuman mati dijatuhkan!
Lalu di pedagang sujud menyembah sang raja, “Perkenankan hamba kembali ke negeri hamba terlebih dahulu. Hamba harus menyerahkan semua investasi hamba kepada anak dan istri, jika tidak, mereka akan terlantar dan hidup dalam kesengsaraan. Setelah itu hamba akan kembali untuk menjalani hukuman mati!” “Gila! Apa aku ini raja bodoh? Mana ada tawanan dilepaskan, dan mau kembali untuk mencari mati?” sahut sang raja. “Ya mulia, hamba punya seorang sahabat di negeri ini, dia belahan jiwa saya. Dia pasti mau menjadi jaminan bagi hamba!” usul si pedagang.

Lalu menghadaplah si bendahara kerajaan kepada raja! “Benarkah terpidana ini karibmu?” tanya raja. “Benar, paduka. Dan hamba bersedia menjadi jaminan baginya. Bagi hamba ini sebuah amanah. Bahagia rasanya melihat sahabat hamba pergi menempuh risiko untuk mencari hamba, dan kini hamba rela menawarkan hidup ini untuknya!” si bendahara mencoba meyakinkan sang raja. “Ingat! Jika dia tidak kembali dalam waktu tiga puluh hari, kepalamu yang aku pancung!” tegas sang raja! Sahabat itu mengangguk setuju.
Saat akhir batas waktu yang disepakati, raja menanti si pedagang hingga sore hari.

Si pedagang tak kunjung datang. Segera setelah matahari terbenam raja memerintahkan tawanan segera dipancung! Sementara leher si bendahara sudah di bawah eksekusi pancungan, tiba-tiba seseorang berteriak, “Raja, raja, hamba datang! Jangan pancung sahabat hamba!” Si pedagang menarik tubuh sahabatnya, dan merebahkan dirinya di bawah kapak pancungan!
“Sekarang aku telah siap untuk menjalani hukumanku!” katanya seraya menatap tajam sahabatnya, “terima kasih karena engkau mempercayaiku!”

Si bendahara tak ingin bergeser dari pancungan! “Tidak! Aku sudah siap mati untukmu! Engkau telah mengamanahkan kepadaku, dan sesungguhnya jika engkau tak ke negeri ini mencariku, tak akan ada masalah ini, jadi...!” Perdebatan di bawah eksekusi pancungan itu berlangsung sengit, dan membuat raja amat terperangah.

Ia belum pernah melihat persahabatan seperti ini.
“Diam, diamlah! Kalian aku bebaskan! Kalian tidak perlu mati. Persahabatan kalian yang mendalam itu adalah permata yang mahal,” seru raja, “dan aku mohon kepada kalian, izinkan aku menjadi sahabat ketiga kalian...” Raja menjadi sahabat ketiga dan mereka belajar sebuah hikmat, bahwa dalam hidup kita harus saling memegang amanah, berlaku benar dan tidak mengelak tanggung jawab, termasuk dalam mengisi persahabatan.

KUNCI KEGAGALAN



Kita semua tidak ingin gagal. Kita semua menghindari kegagalan. Tetapi rupanya kegagalan sangat akrab dalam kehidupan kita. Banyak target yang tak tercapai , banyak cita-cita yang tak terealisir, dan banyak harapan tinggallah kosong.

Mengapa kita gagal dan tidak mencapai keberhasilan? Mengapa kita belum berhasil dan menemui kegagalan? Apakah kegagalan merupakan realitas wajib sehingga keberhasilan dapat kita apresiasikan? Pertanyaan-pertanyaan diatas sering menghantui kita dan memerlukan jawaban dari kita masing-masing.

Kegagalan tidak terjadi dalam semalam. Keberhasilanpun tidak dicapai dalam sehari. Kedua tesis di atas sangat sederhana tetapi juga sangat benar.

Saya teringat ucapan seorang dokter tetangga saya, ketika pulang mengantarkan tetangga kami yang kena serangan jantung ke rumah sakit gawat darurat. Dia berkata bahwa sebetulnya serangan jantung tidak datang dengan tiba-tiba, tetapi bertahun-tahun bahkan berpuluh-puluh tahun penyakit jantung telah ditimbun mulai dari merokok terlalu banyak, minum kopi terlalu banyak, malas olahraga sehingga sedikit demi sedikit pembuluh darah semakin menyempit.

Akhirnya sedemikian sempitnya sehingga kegagalan jantung terjadi. Benarlah bahwa kegagalan jantung tidak terjadi dalam semalam melainkan ditumpuk bertahun-tahun, sedikit demi sedikit.

Keberhasilan pun berlangsung dengan modus yang sama, sedikit demi sedikit keberhasilan ditumpuk sedemikian rupa sehingga keberhasilan itu lama kelamaan besar. Secara teoritis jika seseorang mempelajari lima kata bahasa Inggeris perhari maka dalam setahun dia akan memiliki hampir dua ribu kosa kata dan dalam lima tahun pasti bisa menguasai sepuluh ribu kosa kata. Tetapi berapa banyakkah orang yang lulus perguruan tinggi mampu berbahasa Inggris dengan lancar? Tidak banyak. Mengapa? Karena mereka gagal menghafal lima bahasa Inggeris perhari.

Masih banyak contoh dapat kita berikan tentang kebenaran tesis bahwa keberhasilan adalah kemampuan mengambil langkah-langkah kecil untuk mencapai hasil yang besar. Dan bahwa kegagalan adalah ketidakmampuan menghindari hal-hal kecil sampai ia menumpuk sedemikian besar dan tak terhindarkan lagi konsuekuensinya.

Maka rahasia kegagalan adalah gagal mengucapkan selamat pagi, gagal mengucapkan terima kasih, gagal minta maaf, gagal mengurangi sepiring nasi dari diet harian, gagal memberi perhatian pada seorang staff, gagal mengusulkan kenaikan pangkat anak buah, gagal tersenyum, gagal bertekun setengah jam, gagal berolahraga setengah jam per hari, gagal sholat sepuluh menit per waktu, gagal membawa mobil ke bengkel untuk servis rutin, gagal menabung 5% dari penghasilan per bulan, gagal menutup mulut dari ucapan tak bermutu, dan ribuan kegagalan kecil lainnya.

Orang bijak berkata berkata bahwa hal-hal kecil memang sepele, tetapi setia pada perkara-perkara kecil adalah hal yang besar.

Dari Cendol ke Jip
Jika cendolku ini habis terjual, akan kubeli seekor induk ayam. Lalu ayamnya kupelihara. Bertelor banyak sekali. Selanjutnya aku memiliki banyak anak ayam," demikian seorang tukang cendol berangan-angan sambil setengah mengantuk. Sementara cendolnya sejak pagi belum juga laku barang segelaspun. Dia bersandar pada batang pohon yang rindang sehingga terlindung dari sengatan matahari. Dia berharap semoga ada pembeli menghampiri. Anaknya yang belum terjamah wajib sekolah, ikut menemaninya berjualan. Di balik pohon itu si anak asyik bermain jangkrik.

"Wah, kalau ayam-ayam ini kupelihara terus pastilah jadi babon semua. Kujual, lalu kubeli kambing betina sebagai gantinya," pikir tukang cendol melanjutkan angannya. Begitu asyiknya ia berkhayal, sampai setengah mengingau, sehingga memancing perhatian anaknya.

"Kambing lalu besar. Beranak pinak. Lalu menjadi besar. Kujual semua. Lantas kubeli anak kerbau. Kupelihara baik-baik, jadi besar, wah … aku ini kaya. Punya banyak kerbau, he … he … he," tukang cendol benar-benar hanyut oleh sukacita menikmati khayalnya.

"Nanti kerbaunya boleh saya naiki, ya pak? kata anaknya yang dari tadi menyaksikan bapaknya mengigau, melakonkan impiannya seolah-olah telah terjadi.

Kaget oleh interupsi ini sang bapak menghardik, "Tidak boleh. Nantinya kerbaunya jadi cebol!"

"Boleh dong pak! Masak sih kerbau jadi cebol?" rengek anaknya. Merasa terganggu, dijitaklah anaknya sampai menangis dan berlari menjauh.

Tukang cendol tak perduli dan melanjutkan khayalnya, "Kerbau-kerbauku kujual semua lalu kubeli jip: rrrrr … kuinjak gasnya … lari … oh … asyik …!" sambil mempraktekkan menekan pedal gas jip barunya.

Tapi malang, pedal jip dalam impian yang ditekan itu ternyata gentong cendol. Gentong berantakan. Cendol tumpah disertai berakhirnya mimpi di siang bolong. Dengan wajah lesu dipandangnya cendol yang berserakan di tanah. Ia tak tahu harus berbuat apa. Si anak yang sudah berhenti menangis dan berdiri agak jauh, terkejut mendengar bunyi gentong pecah. Ia tak mengerti mengapa bapaknya "ngamuk".

Sayang memang, padahal impian itu sebetulnya feasible. Namun, terlepas dari kemalangan yang menimpanya, tukang cendol tersebut telah mampu membangun dalam pikirannya suatu cara menjadi kaya. Perkara apakah jalan pikiran itu dapat direalisasikan, itu memang hal lain.

Tak kurang Johann Wolfgang Van Goethe pernah berkata, "Thinking is easy, acting is difficult, and to put one's thought into action is the most difficult thing in the world".

Hal yang tersulit ini, tak enaknya, harus mampu dilakukan oleh manajer. Manajer harus bisa "to get (planned) things done". Atau sebaliknya: ukuran kemanajeran seseorang ialah apakah ia mampu membuat ide menjadi kenyataan: dari cendol menjadi jip!

Semoga Anda para manajer / staff , diberiNya kekuatan dan kebijaksanaan melakukan hal yang tersulit ini.

PENGANTIN BARU SUDAH BERTENGKAR




Lewat tengah malam, segerombolan perampok mulai beraksi. Setelah berkeliling desa, mereka mendapati sebuah rumah dengan pintu seperempat terbuka. Aha! Ini mangsa yang tak boleh dilewatkan.

Saat masuk, mereka melihat banyak sekali kado. Wah, rupanya di rumah ini baru saja ada pesta besar, demikian pikir mereka.Tak mau berlama-lama, mereka pun mulai bekerja. Kado-kado berikut TV dan kipas angin yang ada di ruang tamu langsung mereka gotong. Dari ruang makan, kulkas dan peralatan masak yang masih baru-baru habis mereka gasak.

Ketika masuk ke kamar, mereka tercengang. Terpampang jelas sosok sepasang manusia sedang berbaring saling memunggungi. Tapi kok diam kayak patung, tidak bergerak sama sekali. Siapakah mereka? Apakah mereka pemilik rumah? Saat pandangan mereka berkeliling, terlihat baju pengantin. Mereka baru sadar, rupanya ini rumah pengantin baru. Karena berpacu dengan waktu, gerombolan itu pun beraksi tanpa memedulikan keduanya. Baju pengantin, kotak perhiasan, dan perkakas lain tandas disikat.

Kisah ini dimulai pagi tadi: sepasang kekasih menikah di depan penghulu. Pesta besar pun berlangsung, suasana begitu meriah. Tamu-tamu berdatangan, mereka makan, minum, menari, bergembira merayakan sukacita besar ini.

Malam pun tiba. Tetamu sudah pulang. Tinggallah kedua pengantin. Karena berpesta seharian, mereka kelelahan, memasuki kamar, lalu naik ke ranjang.

Belum apa-apa, terdengar derit pintu depan tertiup angin. Si suami ingat, pintu memang belum ditutup. Berkatalah ia, “Sayang, pintu depan belum dikunci. Turun dong sebentar dan tutup pintunya.”

Tetapi istrinya menjawab, “Kamu ini gimana sih, aku kan capek, kamu aja yang turun.”

“Kamu ini istri apaan sih? Baru beberapa jam jadi istriku, sudah berani membantah. Emangnya kamu siapa, hah? Hayo, tutup pintunya,” balas si suami dengan suara tinggi.

Si istri tak mau kalah dan dengan kasar ia menyembur, “Sialan kamu, baru berapa jam jadi suamiku, sudah kayak raja memerintah seenak perut, membentak-bentak lagi. Emangnya aku budakmu, apa?”

Mereka pun bertengkar panjang sambil mempertahankan argumentasi masing-masing, siapa yang seharusnya menutup pintu.

Tak tahan, akhirnya si suami berkata, “Sudah, sudah, aku capek. Begini aja: kita saling diam, dan siapa yang duluan ngomong, dia harus menutup pintu.”

Mereka berdua pun menutup mulut rapat-rapat. Mereka pura-pura tidur, namun sebenarnya keduanya tidak bisa tidur karena saling mengintip, saling menunggu, siapakah yang bakal kalah dalam pertarungan ego ini.

Ketika perampok itu sudah pergi agak jauh, si istri tidak tahan lagi lalu menyemburkan makian penuh amarah, “Lelaki guooobloook! Kamu gimana siiih? Sudah tahu rumah dirampok, masih aja diam kayak bangkeee!”

Tetapi si suami menjawab tenang dengan perasaan puas, “Haaa, aku menang! Sekarang, kamu turun! Tutup pintunya!”

* * *

Banyak pelajaran yang bisa dipetik dari cerita ini. Namun satu aspek saja yang ingin saya sampaikan: maulah sedikit repot, turun tangan mengerjakan tugas-tugas yang patut dikerjakan, dan janganlah saling melempar tanggungjawab.

Ketika pengantin malang tersebut berjanji sehidup-semati, pasti tidak ada kontrak yang berisi job description yang rinci: siapa harus menutup jendela, mengunci pintu, mengambil air, melipat selimut, memasak nasi, dan berbagai tugas rumahtangga lainnya.

Tetapi karena keduanya kebetulan pemalas dan suka melempar tanggungjawab, dalam kelelahan mereka, masing-masing mengharapkan pasangannyalah yang seharusnya mengerjakan ini dan itu. Tak terhindarkan, kejadian tragis di atas pun terjadi. Bukan cuma itu, seluruh kebahagiaan mereka sebagai pengantin baru lenyap begitu saja.

Di kantor, banyak sekali hal yang tidak dirumuskan dalam job description kita. Namun bila ada pekerjaan yang mendadak muncul—padahal kita tahu jika tidak segera dikerjakan akan menimbulkan kerugian atau bahaya bagi perusahaan—maka wajiblah kita mengerjakannya tanpa harus berharap apa imbalannya, berapa honornya, atau bagaimana uang lemburnya. Kita mengerjakannya hanya karena rasa tanggungjawab, rasa peduli. Sebagai warga organisasi, kita turut menjadi pemilik, sedikitnya, harus ada rasa memiliki, rasa yang muncul karena kita diserahi amanah menjaga organisasi. Inilah arti Etos Kerja: Amanah mengharuskan kita bertanggungjawab.